Taubat Nasuha 3 Mujahid Sejati

(Tafsir Surah At-Taubah 117–119 Dikutip dari Al-Jami’ Ash-Shahih lil Imam Al-Bukhari: 8/113, Kitabul Maghazi, Bab Hadits Ka’ab bin Malik)

Pendahuluan

"Tidaklah akan dijilat api Neraka, debu-debu yang melekat di kaki seorang hamba yang berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari No. 856)

Allah dan Rasul-Nya menjamin bahwa debu jihad tidak akan pernah disentuh api Neraka, namun tidak ada satu pun yang menjamin termasuk Allah dan Rasul-Nya bahwa debu-debu itu tidak akan luntur oleh riya’, sombong, pamer, hubbud dunya (cinta dunia), mudahanah (condong pada musuh) dan berbagai sikap buruk lainnya.

Hadits shahih di bawah ini semoga bisa menjadi tadzkiroh buat mereka yang pernah terlibat dalam Jihad (dan kita yang insya Alloh terbesit dalam hati niat untuk pergi berjihad), bukanlah jaminan bahwa selanjutnya tidak akan salah melangkah dan mengambil sikap dalam jihad fi sabilillah kecuali atas rahmat dan kasih sayang Allah.

Bahkan dua orang shahabat pahlawan Badar dan seorang peserta Bai’ah Aqabah pun pernah tergelincir dalam kesalahan fatal, padahal mereka tidak pernah absen dari puluhan jihad selama hidup bersama Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam, apalagi bagi mereka yang “baru” mengikuti satu kancah jihad saja.

Terjemah Nash Hadits

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Syihab Az Zuhri, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik, diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ka’ab bin Malik -anak Ka’ab bin Malik yang selalu menuntun beliau saat menderita kebutaan- berkata:

"Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisahnya saat tidak ikut dalam perang Tabuk".

Ka’ab bin Malik bercerita:

"Saya tidak pernah absen dalam peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam kecuali perang Tabuk. Hanya saja, saya juga tidak ikut dalam perang Badar, tapi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menegur orang-orang yang absen saat itu. Sebab Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam -saat itu- hanya ke luar untuk mencegat kafilah onta yang membawa dagangan kaum Quraisy. Dan tanpa ada rencana sebelumnya, ternyata Allah Ta`ala mempertemukan kaum Muslimin dengan musuh mereka".

"Tapi saya pernah ikut bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam pada malam (Bai’atul) Aqabah, saat itu kami mengadakan janji setia terhadap Islam. Dan peristiwa ini lebih saya senangi ketimbang peristiwa perang Badar, walaupun perang Badar itu lebih sering dikenang oleh banyak orang...!"

"Sehubungan dengan perang Tabuk, ceritanya begini. Saya tidak pernah merasa lebih kuat secara fisik dan lebih mudah secara ekonomi ketimbang saat saya absen dalam perang itu".

"Demi Allah, saya tidak pernah punya dua kendaraan (kuda), tetapi ternyata saat perang itu saya bisa mempunyai dua kendaraan. Sebelum Tabuk, bila Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengajak para sahabat untuk perang, biasanya beliau selalu tidak menerangkan segala sesuatunya dengan jelas dan terang-terangan. Tetapi dalam perang ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berterus terang kepada para sahabat. Sebab, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam akan melangsungkan peperangan ini dalam kondisi cuaca yang sangat panas".

Beliau akan menempuh perjalanan yang jauh, melalui padang pasir yang begitu luas. Dan beliau juga akan menghadapi musuh dalam jumlah besar. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjelaskan semua ini pada para sahabat. Saat itu, jumlah kaum Muslimin memang banyak. Tidak ada catatan yang menyebutkan nama-nama mereka secara lengkap.’

Ka’ab berkata, "Dari saking banyaknya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang ingin absen saat itu kecuali dia menyangka tidak akan diketahui selagi wahyu tidak turun dalam hal ini".

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melangsungkan perang Tabuk itu di saat buah-buahan dan pohon-pohon yang rindang tumbuh dengan suburnya. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum Muslimin telah bersiap-siap, hampir saja saya berangkat dan bersiap-siap dengan mereka. Tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa. Saya berkata dalam hati, "Saya bisa bersiap-siap nanti."

Begitulah, diulur-ulur, sampai akhirnya semua orang sudah benar-benar siap. Di pagi hari, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah berkumpul bersama kaum Muslimin untuk berangkat. Tetapi saya tetap belum mempersiapkan apa-apa.

Saya berkata, "Saya akan bersiap-siap sehari atau dua hari lagi, kemudian saya akan menyusul mereka setelah mereka berangkat."

Saya ingin bersiap-siap, tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa.

Begitulah setiap hari, sampai akhirnya pasukan kaum Muslimin benar-benar sudah jauh dan perang dimulai. Saat itu saya ingin berangkat untuk menyusul mereka, tapi sayang, saya tidak melakukannya. Saya tidak ditakdirkan untuk berangkat.

Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum Muslimin keluar dari kota Madinah, aku keluar dan berputar-putar melihat orang-orang yang tidak ikut berangkat ke Tabuk. Dan yang menyedihkan, saya tidak melihat kecuali mereka yang dicurigai sebagai munafik atau orang lemah yang memang mendapat keringanan dari Allah Ta`ala.

Sementara itu, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menyebut-nyebut saya sampai beliau tiba di Tabuk.

Di sana, beliau duduk-duduk bersama para sahabat dan bertanya, "Apa yang terjadi dengan Ka’ab?"

Ada seseorang dari Bani Salamah yang menyahut, "Ya Rasulullah, dia itu tertahan oleh pakaiannya dan bangga dengan diri dan penampilannya sendiri."

Mendengar itu Muadz bin Jabal berkata, "Alangkah jeleknya apa yang kamu katakan. Demi Allah ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari Ka’ab itu kecuali kebaikan."

Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam pun diam.

Ka’ab melanjutkan ceritanya, "Ketika saya mendengar bahwa beliau bersama pasukan kaum Muslimin menuju kota Madinah kembali, saya mulai dihinggapi perasaan gundah. Saya pun mulai berfikir untuk berdusta, saya berkata, 'Bagaimana saya bisa bersiasat dari kemarahan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam besok?'."

Karena itu, saya minta bantuan saran dari keluarga saya. Setelah ada informasi bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sudah mulai masuk kota Madinah, hilanglah semua kebathilan yang sebelumnya ingin saya utarakan.

Saya tahu, bahwa tidak mungkin saya bisa bersiasat dari kemarahan beliau dengan berdusta. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah tiba, dan biasanya bila beliau tiba dari suatu perjalanan, pertama kali beliau masuk ke masjid, lalu shalat dua rakaat, kemudian duduk-duduk menemui orang-orang yang datang.

Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam duduk, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut berperang menemui beliau. Mereka mengajukan berbagai macam alasan diikuti dengan sumpah -jumlah mereka lebih dari 80 orang- Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menerima mereka secara lahir dan membai’at mereka serta memintakan ampunan. Adapun rahasia-rahasia hati, semuanya beliau pasrahkan kepada Allah Ta`ala.

Saya pun datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum sinis, kemudian berkata, "Kemarilah!"

Saya berjalan sampai duduk di hadapan beliau. Lalu beliau bertanya, "Apa yang membuatmu tidak ikut serta? Tidakkah kau sudah membeli kendaraanmu?"

Saya jawab, "Ya benar. Demi Allah, sekiranya aku sekarang duduk di hadapan orang selain engkau dari seluruh penduduk dunia ini, tentu aku bisa selamat dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan tertentu. Aku telah dikaruniai kepandaian berdiplomasi. Akan tetapi, demi Allah, aku yakin, kalau hari ini aku berdusta kepada engkau dan engkau rela menerima alasanku, niscaya Allah akan menanamkan kemarahan diri engkau kepadaku".

Kemudian saya bertanya pada mereka, "Adakah orang yang mendapatkan perlakuan sama denganku?"

Mereka menjawab, "Ya, ada dua orang lagi yang mengatakan seperti apa yang kau katakan dan mendapatkan jawaban seperti jawaban yang kau terima."

Saya bertanya lagi, "Siapa mereka?"

Mereka menjawab, "Murarah bin Arabi’ Al Amry dan Hilal bin Umayyah Al Waqify."

Mereka menyebutkan nama dua orang yang pernah ikut perang Badar dan mereka bisa dijadikan panutan. Setelah mendengar dua nama yang mereka sebutkan itu saya terus pergi.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam lalu melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tidak ikut bersama beliau. Akibatnya, orang-orang semua meninggalkan kami dan sikap mereka pun berubah, bahkan dunia ini pun seolah juga berubah, tidak sama dengan dunia yang saya kenal sebelumnya.

Kami merasakan hal demikian selama 50 hari. Selama itu, dua teman senasib saya hanya berdiam diri dan duduk di rumah masing-masing sambil menangis. Berbeda dengan saya, saya termasuk yang paling muda dan paling kuat menahan ujian ini.

Setelah cukup lama orang-orang meninggalkan saya, suatu saat saya pergi memanjat dinding kebun Abu Qatadah -dia adalah sepupu saya dan termasuk orang yang paling saya cintai-. Saya mengucapkan salam kepadanya, tetapi -demi Allah- dia tidak menjawab salam saya.

Saya berkata, "Wahai Abu Qatadah! Demi Allah aku bertanya, adakah engkau tahu bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Dia diam saja. Saya kembali bertanya tapi dia tetap diam.

Saya bertanya sekali lagi, akhirnya dia juga menjawab, "Allah dan Rasul-Nya sendiri yang lebih tahu." Air mata saya berlinang dan saya kembali memanjat dinding itu lagi.

Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang bangsawan dari Syam. Dia termasuk para pedagang yang datang membawa makanan untuk dijual di Madinah. Dia berkata, "Siapa yang dapat menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?"

Orang-orang yang ada di situ menunjukkannya. Setelah dia mendatangi saya, dia menyerahkan pada saya sebuah surat dari Raja Ghassan. Dalam surat itu tertulis, "Aku telah mendengar bahwa kawanmu (yaitu Nabi Muhammad) telah meninggalkanmu, sementara engkau tidaklah dijadikan oleh Allah berada pada derajat yang hina dan terbuang. Datanglah kepada kami, kami akan menghiburmu."

Selesai membaca surat itu saya bergumam, "Ini termasuk rangkaian ujian Allah." Lalu saya bawa surat itu ke tungku dan membakarnya.

Setelah berlalu 40 hari dari total 50 hari, utusan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam datang kepada saya. Katanya, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah menyuruhmu untuk menjauhi Isterimu!" Saya bertanya, "Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?" dia menjawab, "Tidak, jauhilah dia dan janganlah kau mendekatinya".

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam juga mengirimkan utusan beliau kepada dua rekan senasib saya. Maka saya meminta pada Isteri saya, "Pergilah kau ke tempat keluargamu. Menetaplah di sana sampai Allah Ta`ala memutuskan masalah ini!"

Ka’ab berkata, ‘Isteri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dia berkata:

"Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah tua renta, dan dia tidak mempunyai pembantu. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?"

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjawab, "Tidak, tetapi jangan sampai dia mendekatimu!"

Isterinya menjawab, "Demi Allah, dia sudah tidak bisa bergerak lagi dan dia masih tetap menangis sejak dia mempunyai masalah ini sampai hari ini juga."

Sementara itu sebagian keluarga saya berkata,"Bagaimana sekiranya engkau juga minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dalam masalah Isterimu, agar dia bisa melayanimu seperti Isteri Hilal bin Umayyah."

Tetapi saya menjawab, "Demi Allah, dalam masalah ini aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bila aku minta izin kepada beliau, sementara aku ini masih muda?!"

Saya berada dalam kondisi demikian selama sepuluh malam, sehingga jumlahnya 50 malam dari mulai pertama kali Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melarang orang untuk berbicara pada kami.

Pada hari yang ke-50, saya menghadiri shalat Shubuh, setelah itu saya duduk-duduk, sementara kondisi saya persis seperti yang digambarkan oleh Allah Ta`ala, diri sendiri terasa sempit, begitu juga bumi yang luas ini terasa sempit bagi saya.

Saat saya duduk dalam keadaan demikian, tiba-tiba saya mendengar suara orang yang berteriak dengan lantang di atas bukit, "Wahai Ka’ab, bergembiralah!" Saat itu juga saya langsung sujud, saya tahu bahwa masalah saya akan berakhir.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengumumkan datangnya taubat (pengampunan) Allah atas kami bertiga saat beliau selesai shalat Shubuh. Banyak orang pergi menemui kami untuk menyampaikan kabar gembira. Sebagian mereka ada yang menemui dua kawan senasib saya, dan ada seseorang yang ingin menemui saya dengan berkuda.

Sementara itu ada seorang Bani Aslam yang hanya berjalan kaki, lalu dia naik ke bukit dan meneriakkan kabar gembira pada saya. Ternyata suara itu lebih cepat dari pada kuda. Setelah orang yang naik ke bukit itu datang menemui saya untuk menyampaikan langsung, saya tanggalkan pakaian saya dan saya hadiahkan untuknya sebagai imbalan atas kabar gembiranya.

Demi Allah, sebenarnya saya ini tidak mempunyai baju lagi selain itu. Akhirnya saya meminjam baju orang, kemudian berangkat menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Orang-orang datang berduyun-duyun mengucapkan selamat atas kabar gembira ini. Mereka mengatakan, "Selamat atas pengampunan Allah untukmu!" Setelah itu saya masuk ke dalam masjid, di situ terlihat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang duduk di kelilingi banyak orang.

Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah bangun dan menuju ke arah saya dengan setengah lari. Dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat. Tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang bangun selain dia, dan saya tidak akan melupakannya.

Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, beliau berkata -dengan wajah bersinar penuh kegembiraan-,

"Bergembiralah dengan datangnya sebuah hari yang paling baik yang pernah engkau lalui semenjak kau dilahirkan oleh ibumu."

"Dari engkau atau dari Allah, ya Rasulullah?" tanya saya. Beliau menjawab, "Bukan dariku, tapi dari Allah."

Dan demikianlah, bila Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang gembira, wajah beliau bersinar seperti bulan. Kami semua tahu hal itu. Setelah aku duduk tepat di hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya berkata, "Wahai Rasulullah, sebagai pertanda taubat ini, aku akan melepas semua hartaku dan menjadikannya sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah menjawab, "Ambillah sebagian dari hartamu, ini lebih baik untukmu." Saya berkata, "Ya, aku akan mengambil busur panahku yang aku dapatkan dari perang Khaibar."

Setelah itu saya ungkapkan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam,

"Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sebagai pertanda taubatku kepada Allah, aku berjanji bahwa aku akan selalu berkata jujur selama hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang Muslim yang diuji oleh Allah dalam kejujuran kata-katanya melebihi ujian yang aku dapatkan."

Dan sejak aku ungkapkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya tidak pernah berdusta sampai hari ini. Saya memohon semoga Allah tetap menjaga saya selama sisa hidup saya. Dan Allah Ta`ala menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:

"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allahlah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur." (QS. At Taubah [9] : 117-119)

Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah Allah karuniakan kepada saya -setelah nikmat hidayah Islam- yang lebih besar dari nikmat kejujuran saya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Saya tidak ingin berdusta tapi kemudian binasa seperti binasanya orang-orang yang telah berdusta. Dan Allah Ta`ala telah memberikan komentar tentang orang-orang yang berdusta -di dalam wahyu yang diturunkan-Nya- dengan kata-kata yang sangat keras dan jelek.

"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka itu berpalinglah dari mereka, karena mereka itu adalah najis dan tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rela kepada mereka. Tetapi, jika sekiranya kamu rela kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rela kepada orang-orang yang fasik itu." (QS. At-Taubah [9] : 95-96)

Ka’ab berkata,"Kami bertiga tidak memperhatikan lagi orang-orang yang diterima alasan mereka setelah bersumpah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, kemudian beliau menyumpah mereka dan memintakan ampun buat mereka, sementara itu beliau menangguhkan urusan kami sampai Allah sendiri yang memutuskan. Oleh karena itu Alah Ta`ala menyatakan,

'(Dan Allah juga telah menerima taubat) tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka.'

Yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah tidak ikut sertanya kami bertiga dalam perang, tetapi yang dimaksud adalah ditangguhkannya taubat kami serta tidak diikutsertakannya kami pada kelompok orang-orang yang telah bersumpah dan mengemukakan alasan dan diterima oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam."

(HR. Al Bukhari: 8/113, Kitabul Maghazi, Bab Hadits Ka’ab bin Malik)

Abu Izzudin, Jawa Tengah

Bukan Alumni Afghan

disadur dengan sedikit modifikasi dari: http://www.muslimdaily.net/jurnalis/8188/

"Katakanlah, 'Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS. at-Taubah [9] : 24)

"Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. at-Taubah [9] : 19)

"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang), satu darjat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (Surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar (yaitu) beberapa darjat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Nisa’ [4] : 95-96)

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. Al-Hujuraat [49] : 15)

Mengatasi Lesbian ( suka sesama wanita )

Kaget...ya kaget ketika pertama kali menangani klien yang senang dengan sesama jenis.
Astagfirullah...ternyata beberapa klien selanjutnya juga mengeluhkan hal yang sama.
Ya...suka dengan sesama jenis.
Suka dengan sesama jenis yang biasa disebut lesbian ternyata sangat banyak jumlahnya dikota kota besar seperti jakarta ini.
Dahulu lesbian di kategorikan sebagai penyakit fisik, lambat laun lesbian disebut-sebut sebagai penyakit sosial. Di jaman modern sekarang ini, lesbian sudah menjadi alternatif style bagi kalangan tertentu,Komunitasnya pun kian marak dikota kota besar,

Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka jatuh ke masalah ini. Umumnya, faktor yang memengaruhi perempuan menjadi lesbian bisa disebabkan oleh pengalaman hidup. Mulai dari pola asuh orangtua, survive hidup, gaya hidup, sampai adanya unsur balas dendam.

Misalnya, peran ayah dalam rumah tangga yang kerap menyakiti ibunya. Atau, dirinya sendiri mungkin pernah disakiti oleh kalangan laki-laki. Itu dapat membangkitkan jiwa lesbianisme. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh faktor hormonal. Hormon laki-lakinya lebih kuat daripada hormon perempuan.

Seperti klien saya sebut saja Ani, mulai menyenangi wanita karena terbiasa melihat video lesbi, atau ari yang pola asuh orang tua yang selalu memberikan ia tugas laki laki kepadanya sejak ia kecil atau klien yang lainnya karena disakiti pacarnya dan lain sebagainya.

Insya Allah lesbi bisa disembuhkan asalkan ada kemauan yang kuat tuk berubah seperti beberapa klien saya bahkan sudah ada yang berumah tangga dan hidup normal seperti wanita layaknya.

Sebelum adanya gejala adiksi (ketergantungan) itu muncul terlalu dalam dan jauh segeralah menghubungi psikolog ataupun hipnotherapist dikota anda.

maknunfajarsusilo
http://rumahterapiharum.multiply.com

Ustadz Bachtiar Nasir: “Apakah Rasulullah Masuk Sistem Saat Mengubah Sistem?"

Ustadz Bachtiar Nasir: “Apakah Rasulullah Masuk Sistem Saat Mengubah Sistem?"

KAMIS, 29 SEPTEMBER 2011 19:03 DWI HARDIANTO

Cyber Sabili-Jakarta. Umat Islam Indonesia umumnya berperilaku dengan mengikuti pemimpinnya. Parahnya, pemimpin negeri ini telah terjangkiti penyakit wahn, cinta dunia, berorientasi materi dan uang, serta takut mati di jalan Allah.

Artinya, umat Islam kehilangan keteladanan dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Sangat berbeda dengan generasi awal yang dibimbing langsung oleh Rasulullah saw. Generasi awal Islam tidak pernah berpikir untuk menumpuk harta.

Ketika Rasul saw memberikan ghanimah kepada seorang sahabat saat berhijrah ke Madinah, sahabat itu menolak sambil mengatakan, "Ya, Rasulullah bukan untuk tujuan ini saya berhijrah, tapi saya merindukan panah musuh-musuh Islam, musuh-musuh Allah menancap di leherku."

Akhirnya, dalam sebuah perang dengan kabilah Qurasy, ia gugur sebagai syuhada dengan anak panah yang menancap tepat di lehernya. Pada saat pemakamannya, Rasulullah pun memberikan jubah kebesarannya pada sahabat ini.

Adakah, saat ini, pemimpin yang berani menolak ghanimah dan mengatakan, "Saya merindukan timah panas menembus leherku demi tegaknya nilai-nilai Islam?" Itulah analisis Ustadz Bachtiar Nasir kenapa umat Islam kian terpuruk di negeri ini, bahkan di sebagian negeri-negeri Muslim.  

Akibatnya, perjuangan menegakkan Islam menjadi lemah, apalagi para pemimpin umat saat ini justru teracuni oleh subhat pemikiran dan syahwat kekuasaan. Untuk mengetahuinya lebih dalam Wartawan Sabili Rivai Hutapea mewawancarai Pimpinan ar- Rahman Quranic Learning ini di Jakarta. Berikut petikannya:

Mengapa Umat Islam di Indonesia kuat secara mayoritas, tapi lemah dalam kualitas?

Sejujurnya umat kita barulah berbentuk segerombolan  orang yang basic neednya ingin bersosial atas nama agama. Tapi, kebersosialannya kita tak dibangun di atas pondasi syariat karena syubatnya pemikiran dan syahwat kekusaannya lebih dominan dari ketaatannya. Kedua, ibadah umat ini kelihatan luar biasa, namun mereka tak mau berdakwah. Padahal, Islam meminta kepada umatnya, selain beribadah tekun juga seharusnya berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam kepada banyak orang.

Lantas, apa dampak negatifnya?

Atas dua fenomena ini, yaitu berkumpul tapi tak berbaris tegakkan lailahaillallah dan lemah dalam berdakwah menyebabkan kebersamaan di kalangan umat tak bermakna apa-apa. Padahal, semestinya kebersamaan ini membentuk barisan dan barisan melahirkan kekuatan.

Contoh konkrit Ustadz?

Ibadah yang dilakukan tanpa disertai ghirah dan semangat berdakwah yang tinggi akan stagnan, bahkan akan mengalami kemunduran signifikan. Akibat lanjutannya umat tidak berdaya di berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, politik, kesenian dan lainnya. Umat akan terpuruk dibanding umat lainnya di berbagai bidang.

Bagaimana solusinya?

Kita kembali kepada orisinalitas Islam. Sebagai ilustrasi, banyak sekali yang dilakukan pimpinan Islam tapi tidak didasari oleh konsep shalat berjamaah. Maka, tidak mungkin mendapatkan pertolongan Allah SWT.

Bangunan umat sudah diletakkan dasarnya oleh Rasulullah saw. Bid’ah-bid’ah yang kita lakukan dalam merekonstruksi umat telah terjadi. Ini penyebab yang paling mendasar ketertinggalan umat. Ditambah lagi adalah syahwat kekuasaan dan syubhat pemikiran yang melanda umat.

Dalam bidang politik misalnya, Islam Indonesia lemah karena partai politik Islam tidak bersatu dan terpecah. Seandainya, mereka mau berkoalisi, insya Allah pertolongan Islam akan datang. Pertolongan Allah akan datang kalau umat dapat bersabar dalam memperjuangkan Islam.

Termasuk di bidang ekonomi?

Ya, umat kita ini banyak yang tidak berzakat. Banyak mengaji, zikir, bahkan haji berkali-kali, tapi banyak yang tidak berzakat. Mau meniru ekonomi syariah manapun, tapi kalau tidak bayar zakat keberkahan tidak akan datang.

Solusinya adalah kita kembali ke hal yang fundamental saja. Tidak usah cari pemimpin yang kaya dan baik, tapi tak shalat berjamaah. Maka jangan berharap pertolongan Allah datang. Karena kedaulatan terjadi karena adanya pertolongan dari Allah.

Logika menang dan kuat hanyalah satu,  yaitu pertolongan dari Allah. Kalau tidak ada pertolongan Allah, berapa pun kekuatan yang dimiliki, tidak akan berarti apa-apa.

Lihat perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu. Dari semua sisi Indonesia masih lemah, tapi kenapa dapat meraih kemenangan dari kaum penjajah. Penyebabnya, karena saat itu masyarakat merdeka jiwanya.

Lihat jenderalnya, bukanlah orang yang berbintang lima atau bergelar seabreg, tapi maaf orang yang berpenyakit TBC. Kemana-kemana ia ditandu oleh anak buahnya. Tapi jiwanya merdeka dari syahwat kekuasaan dan syubhat pemikiran. Karena itu, ia sanggup berkata, “Kami siap mempertahankan kedaulatan RI sampai tetes darah penghabisan.”

Bagaimana dengan pemimpin umat saat ini?

Di sini letak persoalannya. Pemimpin umat saat ini, tidak seperti pemimpin umat dulu. Pemimpin saat ini lebih cinta dunia harta, pangkat dan kedudukan. Padahal al-Qur’an hanya meminta mereka mau berkorban untuk Islam.

Sejujurnya, pemimpin saat ini terserang penyakit wahn (cinta dunia). Saat ini terjadi distorsi atmosfir sirah. Sirahnya benar, tapi cara menafsirkannya yang keliru. Amr bin Ash atau Abdurrahman bin Auf disebut kaya raya bukan sekadar penampilannya, tapi karena kedermawanannya dan keadilannya mendistribusikan kekayaan. Saat ini sulit menemukan pemimpin Islam seperti itu.

Di Indonesia ini unik, bank-bank konvensional jadi “mualaf” karena mau pakai istilah syariah, tapi tak mau pakai syariat karena di belakang “H” ada profit, tapi di belakang “T” ada risiko. Sehingga ramai-ramai membentuk ekonomi syariah, bukan syariat.

Bukankah fenomena berdirinya bank syariah adalah sesuatu yang harus didukung?

Ini memang sebuah proses perlahan-lahan menuju kedaulatan ekonomi umat. Rasulullah saw orang yang paling tahu  pusat uang di mana. Rasulullah juga orang yang paling tahu bagaimana kedaulatan politik, tapi Rasulullah adalah orang yang paling zuhud pada dunia. Rasulullah tahu dunia hanya dapat ditaklukkan dengan kezuhudan bukan dengan kemewahan. Jadi ada logika-logika terbalik di mana syahwat dan syubhat kekuasaan sudah menggelayut dalam diri pemimpin umat.

Saat ini juga pemimpin mengukur kesuksesan dengan banyaknya konstituen, uang. Logika yang mereka bangun tidak akan berhasil tanpa uang dan kekuasaan. Di atas kertas, benar, tapi kenyataannya tidak. Lihat sirah Islam. Jika kemenangan didasari uang, kekuasaan, di atas kertas seharusnya Fir’aun yang menang melawan Musa. Sebaliknya, Musa yang menang. Pemimpin sudah tak percaya diri lagi dengan ayat yang berbunyi, “Wahai Nabi cukuplah Allah SWT sebagai pelindungmu dan cukuplah konstituenmu orang-orang yang beriman.”

Dapat dijelaskan lebih dalam penyebab hal ini?

Saya ingin kembali kepada yang fundamental dan sederhana saja sebagaimana yang disebutkan dalam ajaran Islam. Penyebabnya ada tiga, yaitu syirik, cinta dunia dan takut mati.

Syiriknya di mana?

Saat ini di kalangan umat muncul pola laku animisme dan dinamisme baru. Contoh berpikir animisme begini. Mereka mengatakan mana mungkin kita bisa mengubah situasi kalau tidak masuk sistem. Karena itu, kita harus berkuasa. Atau ada juga mengatakan, jika politik di isi orang-orang jelek, mana mungkin akan merubah sistem.

Jawabannya simpelnya begini. Apa dulu Nabi saw masuk sistem saat mengubah negeri. Sebutkan nabi dan sahabat mana yang masuk sistem mengubah negeri.

Selain animisme, pemikiran dinamisme juga terjadi di kalangan umat. Yaitu, mereka yang mengorientasikan dirinya pada materi dan uang. Akibat, perjuangan menegakkan Islamnya menjadi lemah. Pada gilirannya, konstituen kecewa dengan para pemimpinnya.

Soal cinta dunia?

Diakui atau tidak, dunia ini indah. Ironisnya, para pemimpin terjatuh kecintaan pada dunia. Akibatnya, mereka sulit untuk bersikap tegas dan cenderung kompromistis kepada kebatilan. Bagaimana Islam akan tegak jika pemimpinnya lebih cinta dunia dari pada akhirat.

Persoalan ketiga adalah takut kematian, ancaman dan lainnya. Diakui atau tidak, para pemimpin negeri ini dijangkiti penyakit takut mati, takut ancaman dan takut lainnya. Inilah yang menyebabkan bangsa ini tidak pernah berdaulat karena pemimpinnya lebih cinta dunia dan takut mati. Pemimpin yang takut mati, tidak akan dapat diharapkan untuk menegakkan Islam.

Karena itu kita membutuhkan pemimpin umat yang bebas dari hama wahn. Kita memerlukan pemimpin yang mengatakan kebenaran absolut adalah datang dari Allah. Kemudian ia tidak pernah ragu dan jadi peragu. Setiap keputusannya selalu dilandasi atas dalil Islam. Merekalah yang dapat diharapkan dalam perjuangan Islam. Jadi terpuruknya bangsa ini karena pemimpinnya telah terjangkiti syubhat pemikiran dan syahwat kekuasaan yang berlebihan.

Ciri apa yang patut ditiru umat dari generasi awal Islam dulu?

Generasi awal adalah orang yang jujur akan janjinya. Mereka generasi yang dibentuk oleh Rasulullah. Mereka adalah sekelompok orang yang sangat berpengaruh, militan dan konsisiten memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam. Orang seperti inilah yang tidak kita punyai saat ini.

Generasi awal tidak kepikir berjuang untuk menumpuk harta. Ketika Rasulullah memberi ghanimah kepada salah seorang sahabat saat berhijrah, sahabat itu menolak dan mengatakan, “Ya Rasulullah bukan untuk ini saya berhijrah, tapi saya merindukan  panah itu menancap di leherku.” Dan ia pun terbunuh dan panah menacap di lehernya. Rasulullah kemudian memberi jubah kebesaran kepadanya. Saat ini, adalah pemimpin yang berani menolak ghanimah dan mengatakan saya merindukan panah menancap di leherku.

Jadi apa persoalan besar saat ini?

Umat ini kehilangan teladan pemimpin. Yang diinginkan umat dari pemimpin adalah amanah dan keteladan. Kenapa umat jadi  kocar-kacir seperti saat ini karena antara yang ia dapatkan di masjid dengan kenyataan sosialnya gap. Inilah yang membuat umat  akhirnya frustasi.

Karena itu, umat membutuhkan pemimpin yang memegang amanah, hidupnya bersahaja, tetap bersahaja walau proyek besar di depannya dan sayang kepada umatnya. Inilah pemimpin yang dicari umat saat ini, tidak ada yang lain.

Belakangan, kesadaran umat pentingnya mengaji tumbuh. Benarkah?

Ya, hal yang melatarbelakanginya banyak. Antara lain, umat mulai sadar bahwa selama ini mereka memakai referensi yang dhaif sehingga mereka mencari pengajian-pengajian yang menyampaikan referensi yang benar. Mereka juga mencari para ustadz yang memiliki integritas karena selama ini mereka tidak mendapatkan itu.

Apakah karena fenomena ini ustadz membuat kelas pengajian yang unik?

Saya coba lemparkan kelas tadabur Qur’an. Pada akhirnya yang ikut dalam pengajian itu adalah orang-orang pilihan yang ingin mencari ilmu, bukan sekadar wisata spirituil. Yang tadabur Qur’an biasanya orang-orang yang mau mikir, menulis, mengkaji bukan sekadar mau rekreasi spirituil saja. Meskipun untuk awalnya, hal itu sudah cukup bagus. Namun dalam kenyataannya biasanya mereka tidak kuat untuk tadabur Qur’an.

Mengapa tadabur Qur’an ini begitu istimewa?

Dapat satu saja orang yang mau belajar, menganalisa dan mengkaji Qur’an, bandingannya lebih dari 10 orang. Di sini letak istimewanya. Saat ini saya berpikir bagaimana al-Qur’an dapat dinikmati oleh orang Indonesia yang tak mengerti bahasa Arab. Seseorang yang mau menguasai al-Qur’an, harus memiliki syarat ikhlas, menguasai alat bahasa, menyesuaikan akselerasi gaya rasa. Pertama, masuk saja dulu kelas tadabur yang penting bisa baca meskipun belum bisa menyambungkannya. Kemudian difasilitasi, misalnya tempatnya nyaman, kurikulumnya jelas dan lainnya.

Apakah dakwah yang dibutuhkan umat?

Lihat teori marketing Nabi Ibrahim. Allah SWT memerintahkan Ibrahim memanggil orang sedunia untuk mendatangi Ka’bah. Padahal Ka’bahnya dia sendiri yang membangun. Bentuknya pun biasanya saja, tidak terlalu bagus presisinya. Untuk mencapai ke sana pun harus dengan perjuangan yang luar biasa.

Tapi, kita membutuhkan pemuda-pemuda yang berpikir out the box, seperti Ibrahim. Awalnya, Ibrahim tak PD menjalankan perintah Allah memanggil manusia ke Ka’bah. Marketing tools juga nggak ada untuk mengajak ke sana. Namun Allah meyakinkan Ibrahim bahwa banyak orang yang akan datang ke sana.

Tugas Ibrahim adalah memanggil manusia sedunia, sedangkan tugas Allah SWT adalah menyampaikan ke hati manusia. Ibrahim tidak tahu kalau frekuensi ada yang mengendalikan sampai ke hati manusia. Dan janji Allah terbukti, dikemudian hari oarng-orang berduyun-duyun mengunji Ka’bah, hingga saat ini, bahkan sampai akhir zaman. Inilah janji Allah SWT yang harus diyakini. Tugas kita adalah menyampaikan amanah Allah sedangkan yang menentukan hasilnya adalah Allah SWT. Di sinilah banyak umat yang tidak meyakini janji Allah SWT sehingga umat ini terpuruk.

Dapat diberikan contohnya?

Apa yang dilakukan Mushab bin Umair ketika berdakwah di Madinah. Ia ditantang dua pemuda Madinah yang siap menancapkan pedangnya ke tubuh Mushab. Tapi Mushab berkata, “Saya tidak akan bacakan ayat kalau kalian tidak duduk.” Hanya dua ayat al-Furqan ia bacakan, mereka langsung tunduk. Jadi, tugas kita membacakan ayat.

Allah SWT menurunkan al-Qur’an ini kepada Rasulullah secara perlahan-lahan agar Nabi dapat menyampaikan ke umat. “Sengaja Qur’an ini Aku turunkan bagian demi bagian untuk kau bacakan kepada manusia perlahan-lahan.”

Inilah saatnya kita mengajak manusia untuk back to Qur’an. Kemana-mana, saya sering mengenalkan identitas sebagai guru ngaji. Suatu waktu pernah ada yang bertanya kepada saya kenapa bangga disebut guru ngaji? Saya katakan karena lebih tinggi dari presiden. Sebaik-baik karir kalian adalah yang mendalami al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang banyak. Jadi, seperti halnya Nabi Ibrahim dan sahabat, kita harus percaya diri menyampaikan dan membacakan al-Qur’an kepada umat. Insya Allah, perubahan akan terjadi di negeri ini.

Sumber: Majalah SABILI No 26/TH XVIII, 29 September 2011.

http://www.sabili.co.id/wawancara/ustadz-bachtiar-nasir-apakah-rasulullah-masuk-sistem-saat-mengubah-sistem

Kesimpulan dan Komentar untuk "Menjawab Fitnah : PKS Makasar Tak Pernah Setujui Perda Miras"

Menjawab Fitnah : PKS Makasar Tak Pernah Setujui Perda Miras

9/29/2011 03:43:00 PM | Posted by Faguza Abdullah

Islamedia - Sehubungan dengan adanya fitnah dari media online yang menyatakan bahwa PKS Kota Makasar Bolehkan Penjualan Miras Asal Bayar 30 Juta, ini adalah berita tidak benar.

PKS Makasar dengan jelas menyatakan bahwa menolak Perda ini diberlakukan di Kota Makasar karena akan menimbulkan masalah baru pada masyarakat makasar. Irwan ST selaku ketua Fraksi PKS DPRD Kota Makasar menyampaikan pada Ujungpandangeskpres.com sebagai berikut :

"Atas nama PKS, peraturan mengenai penjualan dan distribusi miras kami tolak," tegas Irwan, kepada Upeks, Senin (26/9).

Pada dasarnya, izin penjualan miras tidak diperbolehkan. Apalagi, jika dijual bebas. Apabila penjualan dilakukan hanya berdasarkan peroleh izin, dapat dipastikan akan memberikan efek yang fatal bagi masyarakat.

"Persoalan ini telah berulang kali kami tegaskan. Penjualan minuman beralkohol harus dihentikan. Kalaupun ada penjualan, harus di tempat tertentu. Seperti, hotel berbintang. Jangan dijual di toko atau minimarket," terangnya.

sumber: http://ujungpandangekspres.com/view.php?id=72978

Hal ini tidak hanya dibantah oleh Ketua Fraksi PKS DPRD Makasar tapi juga oleh Iqbal Jalil yang merupakan anggota DPRD Komisi D kota Makasar dari PKS kepada makasar.tribbunnews.com sebagai berikut :

Anggota Komisi D DPRD Kota Makassar, Iqbal Jalili memprotes ranperda yang akan melegalkan penjualan miras yang dikhawatirkan akan merusak moral. Iqbal menilai penjualan miras ini tidak boleh dilegalkan, berapa pun kadar alkoholnya, miras tidak boleh dilegalkan.

"Kalau kadarnya misalnya hanya lima persen ditambah lima persen kan, akan merusak banyak generasi," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, Kamis (22/9/2011).

Alumnus International Islamic University, Pakistan ini juga meminta supermarket tidak menjual miras. Ini dikarenakan suparmarket dapat diakses semua kalangan dan usia."

sumber: http://makassar.tribunnews.com/2011/09/22/pks-makassar-protes-ranperda-miras

Pernyataan ini juga diperkuat dengan adanya pemberitaan pada media masa cetak SINDO tentang penolak Fraksi PKS DPRD Kota Makasar.

sumber: http://lockerz.com/s/142735955

Hal ini semakin memperjelas bahwa Fraksi PKS DPRD Kota Makasar tegas menolak adanya Perda Miras di Kota Makasar dan tidak benar jika Fraksi PKS DPRD Makasar menyetujui perda tersebut [ismed]

sumber: http://www.islamedia.web.id/2011/09/menjawab-fitnah-pks-makasar-tak-pernah.html

* * * dibawah adalah komentar pribadi saya * * *

saya pribadi berkesimpulan dari tulisan diatas adalah: intinya ada daerah yang LEGAL untuk menjual miras dan ada daerah yang ILEGAL untuk menjual miras.

berikut sedikit tulisan mengenai larangan minum khamr dan hukumnya:

Larangan Minum Khamr dan Hukumnya

Aturan larangan (pengharaman) minuman keras (khamr) berlaku untuk seluruh umat Islam serta tidak ada perkecualian untuk individu tertentu. Baik agen besar maupun pengecer kecil. Jadi dalam Islam tidak ada dikotomi miras diperbolehkan untuk dijual berdasarkan kapasitas penjual. Islam dengan jelas melarang keras tindakan meminum khamar itu sendiri, terlepas apakah si peminum tersebut mabuk atau tidak. Hal ini cukup clear dinyatakan dalam surat Al-Maidah [5] ayat 90:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Perkara Khamr pun amat terkait dengan status seorang manusia di akhirat dimana individu yang minum Khamr jika tidak bertaubat maka akan mendapat ganjaran pedih di Neraka.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya seorang lelaki datang dari Jaisyan (negeri Yaman) lalu ia bertanya kepada Nabi saw. tentang hukum minuman dari jagung yang sering mereka minum di negeri mereka. Minuman tersebut bernama mirz. Lalu Nabi saw. bertanya, "Apakah minuman itu memabukkan?" Lelaki itu menjawab, "Benar." Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Setiap yang memabukkan itu haram hukumnya dan sesungguhnya Allah SWT telah berjanji bahwa orang yang minum minuman memabukkan akan diberi minuman thinah al-khahal." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan thinah al-khahal?" Beliau menjawab, "Keringat penghuni neraka atau air kotoran penghuni Neraka," (HR. Muslim No. 2002)

Tidak hanya itu, pada riwayat lainnya, Rasulullah saw mengatakan bahwa dampak dari seseorang yang meminum khamr, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa minum khamr, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Namun jika ia bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila untuk yang keempat kalinya ia ulangi lagi maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari dan jika ia bertaubat Allah tidak akan menerima lagi taubatnya dan akan memberinya minuman dari sungai al-khahal'." Ditanyakan, "Wahai Abu Abdurrahman apa yang dimaksud dengan sungai al-khahal?" Ia menjawab, "Sungai yang berasal dari nanah penghuni Neraka." (Shahih, HR. at-Tirmidzi No. 1862)

Islam bukan tidak mengetahui sisi manfaat khamr, namun dalam pandangan Islam dampak kerusakan khamr dalam kehidupan manusia jauh lebih besar dari manfaat yang bisa diperoleh. Hal ini dinyatakan di dalam Al-Quran surat Al Baqarah [2] ayat 219 yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya'.”

sumber: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/pks-jual-miras-boleh-asal-bayar-rp-30-juta.htm

"Dan tidaklah layak bagi orang Mukmin laki-laki maupun bagi orang Mukmin perempuan, jika Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata."  (QS. Al-Ahzab [33]: 36)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisaa' [4] : 65)

Tidak. Kamu Kafir!

Tidak. Kamu Kafir!

Oleh Anung Umar

“Tidaklah aku melihat para qari kita ini melainkan orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta pembicaraannya, dan paling pengecut di antara kita dalam peperangan,” demikian pria itu bertutur kepada teman-temannya. Tiba-tiba ada yang menimpalinya dengan penuh kemarahan, “Dusta! Engkau ini seorang munafik! Akan aku beritahukan ini kepada Rasulullah.”

Siapa mereka berdua? Apa yang mereka ributkan? Keduanya merupakan bagian dari rombongan yang berjihad bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam perang Tabuk. Lantas siapa yang diejek oleh pria yang pertama? Ia mengejek para sahabat Nabi yang ahli baca Al-Quran.

Karena itulah pria yang kedua menjadi berang lalu mengancam akan melaporkan ucapannya itu kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Lantas, apakah ia melaporkannya? Akhirnya ia melaporkannya. Namun, belum sampai ia di hadapan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, wahyu telah turun mendahuluinya.

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kufur sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66)

Akhirnya datanglah pria pertama tadi kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sedangkan beliau صلى الله عليه وسلم sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Ia berkata sembari berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, “Ya Rasulullah, sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dengan mengucapkan ayat, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?” Beliau tidak menengoknya, dan tidak pula berkata kepadanya lebih dari itu. (Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa memperolok-olok apa pun yang datang dari agama adalah kekufuran dan kemurtadan, mengeluarkan pelakunya dari islam. Dan itu adalah perkara yang sangat besar dan tidak ringan tentunya.

Jika orang yang telah merasakan keutamaan berjuang bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan mencecap shalat di belakang beliau saja, menjadi murtad karena ucapan yang keluar dari lisannya, lantas bagaimana pula orang yang tidak pernah merasakan keutamaan itu?

Lalu bagaimana dengan orang yang shalat pun sering bolong-bolong dan kerap bergelimangan maksiat? Apa jadinya jika kondisi amalnya yang sudah rusak, ditambah pula dengan memperolok-olok agama?

Jika mengolok-olok agama yang tentunya itu bergurau, bukan serius saja menyebabkan kemurtadan, lantas bagaimana pula jika dilakukan dalam keadaan serius dan sungguh-sungguh?

Kalau begitu, siapa yang berolok-olok, “Al-Quran itu buatan orang Arab!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang berolok-olok, “Al-Quran itu kitab porno!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang bercanda, “Saya sudah tobat dari agama!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang bersenda gurau, “Jangan puasa, puasa Ramadhan itu perintah manusia!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang berkelakar, “Setan itu lebih baik dibandingkan Nabi Adam!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang berseloroh, “Allah keliru telah menyebutkan poligami dalam Al-Quran!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapa yang bertingkah, “Saya tidak takut neraka! Saya tidak butuh surga!” bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok?

Siapapun dan dengan alasan apapun jika berani memperolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan para rasul-Nya atau apa saja perkara dalam agama-Nya, entah dengan lisan atau perbuatan, bacakanlah kepadanya, “Apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu perolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kufur sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 66)

Demikianlah balasan bagi setiap orang yang melecehkan-Nya dan menghinakan syiar-syiar-Nya. Allah akan menghukum mereka atas ucapan yang meluncur dari lisan mereka. Ucapan yang sebenarnya merupakan perwujudan dari apa yang ada di batin mereka. Ya, kekufuran lahir mereka menunjukkan akan kekufuran batin mereka. Sebab, seandainya dalam hati mereka ada pengagungan terhadap-Nya, tentu tak mungkin mereka berani untuk memperolok-olok dan melecehkan agama serta syiar-syiar-Nya.

Dan siapa yang mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj [22] : 32)

Maka, wahai para pencela Allah, segeralah bertaubat kepada Allah dengan setulus hati kalian. Hentikanlah kekufuran kalian. Menangislah dengan penuh penyesalan atas apa yang telah kalian perbuat. Bertekadlah dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi lagi. Niscaya Allah mengampuni kalian dan merahmati kalian.

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sungguh, akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu."(QS. Al-Anfal [8] : 38)

Tapi, jika kalian kukuh bersikeras berada dalam penentangan ini, mari... marilah kemari. Ini kabar gembira untuk kalian:

1. Seorang murtad tidak boleh menikah dengan seorang muslim, dan apabila telah menikah, maka batallah pernikahannya.

Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 221)

2. Seorang murtad tidak bisa mendapatkan warisan dari kerabatnya yang muslim.

“Seorang Muslim tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan seorang kafir tidak berhak pula mewarisi harta seorang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid رضي الله عنهما )

3. Seorang murtad tidak terjaga darahnya.

Siapa yang mengganti agamanya (murtad), bunuhlah ia.” (HR. Bukhari)

4. Seorang murtad jika mati tidak boleh dishalati dan dikuburkan di pekuburan muslimin.

Dan janganlah kamu sekali-kali menyolati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS. At-Taubah [9] : 84)

5. Seorang murtad akan disiksa di neraka kekal selama-lamanya

Siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 217)

Siapkah kalian menghadapi konsekuensi ini?

Jakarta, 1 Syawwal 1432/31 Agustus 2011

sumber: anungumar.wordpress.com

SBY dan “9 Malapetaka Terorisme”

SBY dan “9 Malapetaka Terorisme”

Bismillahirrahmaanirrahiim.

1. FAKTA: Hari Minggu, 25 September 2011, sekitar pukul 10.55 WIB, seorang pemuda, diperkirakan usia 31 tahun, melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo. Akibat aksi ini satu orang tewas -dengan usus terburai- yaitu si pelaku peledakan itu sendiri, dan puluhan jemaat gereja terluka. Menurut kabar, pelaku peledakan itu diperkirakan namanya Ahmad Yosefa.

2. Pagi hari terjadi peledakan bom, sore harinya SBY langsung membuat konferensi pers. Isi konferensi pers: dia menyebut peledakan itu sebagai aksi pengecut, dia menyebut pelaku peledakan itu ialah “jaringan Cirebon”, dan dia kembali memastikan bahwa Indonesia belum aman dari aksi-aksi terorisme.

Pernyataan SBY ini setidaknya mengandung dua masalah besar: Pertama, dia begitu cepat memastikan bahwa pelaku peledakan itu adalah ini dan itu. Hanya berselang beberapa jam SBY sudah memastikan, padahal hasil penyelidikan resmi dari Polri belum dikeluarkan. Hal ini mengingatkan kita kepada Tragedi WTC 11 September 2001. Waktu itu media-media Barat sudah memastikan bahwa pelaku peledakan WTC adalah kelompok Usamah, hanya sekitar 3 jam setelah peristiwa peledakan. Seolah, SBY sudah banyak tahu tentang seluk-beluk aksi bom bunuh diri di Kepunton Solo tersebut. Kedua, SBY untuk kesekian kalinya tidak malu-malu mengklaim bahwa kondisi Indonesia masih belum aman dari aksi-aksi terorisme. Kalau seorang pemimpin negara masih berakal sehat, seharusnya dia malu dengan adanya aksi-aksi terorisme itu. Tetapi sangat unik, SBY tampaknya sangat “menikmati” ketika kondisi Indonesia tidak cepat lepas dari aksi-aksi terorisme.

3. Setiap ada aksi terorisme, dimanapun juga, termasuk di Indonesia, kaidahnya sederhana. Aksi terorisme bisa dibagi menjadi 3 jenis: (a). Aksi yang benar-benar murni dilakukan oleh pelaku terorisme dengan alasan ideologis. Mereka melakukan teror karena kepentingan ideologi, dan menjalankan aksi itu dengan persiapan-persiapan sendiri. Aksi-aksi yang dilakukan oleh IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, atau kelompok David Coresh di Amerika termasuk jenis ini;

(b). Aksi terorisme yang dibuat oleh aparat sendiri dalam rangka mencapai tujuan politik tertentu. Aparat yang merancang dan mereka pula eksekutornya. Contoh monumental aksi demikian ialah peledakan WTC yang dilakukan oleh dinas intelijen Amerika sendiri; (c). Aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu (misalnya kelompok Jihadis) yang ditunggangi oleh aparat. Penyusun aksi itu sebenarnya aparat, tetapi eksekutornya diambil dari kalangan Jihadis yang mudah dipengaruhi dan diprovokasi. Aksi peledakan bom itu sangat mudah dibuat oleh mereka yang punya DANA, INFORMASI, dan AKSES SENJATA. Sedangkan sudah dimaklumi, aparat keamanan memiliki itu semua. Mereka bisa membuat aksi peledakan dimanapun, lalu aksi itu diklaim dilakukan oleh pihak ini atau itu.

4. Malapetaka. Dalam bahasa Inggris disebut “disaster”. Dalam bahasa Arab disebut bala’. Seseorang disebut mendapat malapetaka ketika dia tertimpa keburukan, mushibah, kemalangan, atau penderitaan; karena telah melakukan kedurhakaan atau kezhaliman kelewat batas. Contoh manusia yang mendapatkan malapetaka ialah George Bush. Begitu hinanya manusia itu, sehingga dia dilempar sepatu ketika berbicara di Irak. Tidak pernah ada kepala negara dilempar sepatu sehina itu, selain George Bush.

SBY dalam hal ini juga bisa dikatakan, telah mendapat “malapetaka terorisme”. Mengapa SBY dikatakan telah mendapat “malapetaka terorisme”? Alasannya, karena: (a). Dia banyak didoakan mendapat malapetaka oleh semua aktivis Islam yang mendapat kezhaliman dan penistaan akibat isu-isu terorisme itu, beserta keluarga dan kerabat mereka. Mereka mendoakan bersama agar SBY mendapat laknat dari Allah Ta’ala; (b). Dia didoakan mendapat malapetaka oleh setiap Muslim yang merasa muak dan benci akibat peristiwa-peristiwa terorisme yang penuh rekayasa, demi menjelek-jelekkan para aktivis Islam itu. Begitu muaknya masyarakat, sampai pernah beredar ajakan agar mematikan TV ketika disana ada SBY sedang pidato; (c). SBY mendapat malapetaka langsung dari Allah akibat segala dosa-dosa dan kezhalimannya kepada kaum Muslimin, kepada bangsa Indonesia, dan alam sekitarnya.

Setidaknya disini ada “9 Malapetaka Terorisme” yang menimpa SBY sepanjang karier kepemimpinnanya. Angka 9 sesuai dengan “angka keramat” yang sering dielu-elukan oleh SBY sendiri.

5. Malapetaka 1: SBY adalah seorang “Presiden Terorisme”. Maksudnya, dia adalah satu-satunya Presiden RI yang paling banyak berurusan dengan isu teorisme. Bahkan, SBY tidak memiliki prestasi apapun yang bernilai, selain dalam mengurusi isu terorisme itu sendiri. Tidak ada Presiden RI yang begitu gandrung dengan isu terorisme, selain SBY. Tidak ada Presiden/PM di negeri-negeri Muslim yang begitu intensif bergelut dengan isu-isu terorisme, selain SBY. Bahkan tidak ada presiden negara dimanapun, setelah George Bush, yang begitu getol dengan isu terorisme, selain SBY. Singkat kata, SBY bisa disebut sebagai “George Bush-nya Indonesia“.

6. Malapetaka 2: SBY terbukti merupakan Presiden RI yang sangat sentimen kepada aktivis-aktivis Islam, bahkan sentimen kepada Ummat Islam. Di sisi lain, SBY sangat peduli dengan nasib minoritas non Muslim. Banyak fakta yang membuktikan hal itu.

Saat terjadi peledakan bom di Kepunton Solo, SBY begitu cepat bereaksi. Dia mengecam tindakan aksi bunuh diri tersebut. Tetapi ketika terjadi kerusuhan di Ambon, sehingga beberapa orang Muslim meninggal, ratusan rumah dibakar; ternyata SBY diam saja. Dia tak bereaksi keras, atau mengecam.

Ketika seorang jemaat gereja HKBP mengalami penusukan di Cikeuting, SBY langsung bereaksi keras. Padahal jemaat itu hanya luka-luka saja. Bahkan yang terluka juga termasuk aktivis Muslim. Tetapi terhadap puluhan pemuda Islam yang dibunuhi Densus88 di berbagai tempat; terhadap ratusan pemuda Islam yang ditangkap, ditahan, dan disiksa; terhadap ratusan keluarga pemuda-pemuda Muslim yang terlunta-lunta; ternyata SBY hanya diam saja, atau pura-pura tidak tahu.

Ketika terjadi insiden Monas yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyyah, Juni 2008 di Jakarta, SBY bereaksi keras. Dia mengecam ormas Islam anarkhis. Kata SBY: “Negara tidak boleh kalah oleh kekerasan!” Hebat sekali. Tetapi ketika Ustadz Abu Bakar Ba’asyir berkali-kali diperlakukan kasar, galak, dan penuh tekanan; padahal beliau sudah tua dan sakit-sakitan. Ternyata SBY tak pernah mau peduli.

Ketika terjadi pelatihan militer oleh sebagian kelompok Islam di Jantho Aceh. Dilakukan di tengah hutan, tanpa ada korban atau aksi kekerasan apapun, ia dianggap sebagai aksi terorisme. Para pelakunya ditahan, sebagian ditembak mati. SBY membiarkan perlakuan keras itu. Tetapi terhadap gerakan OPM di Papua yang jelas-jelas bersenjata dan menyerang aparat berkali-kali, SBY tidak pernah menyebut gerakan OPM sebagai terorisme.

Ketika para penari Cakalele mengibarkan bendera RMS di depan mata SBY, dia tak bersikap tegas. Padahal itu benar-benar penghinaan di depan mata dia. Tetapi ketika ada sebagian orang membuat aksi demo dengan membawa kerbau yang ditulis “Sibuya”, SBY begitu marah.

Intinya, SBY sudah terbuksi sangat NYATA dan JELAS, bahwa dia sangat membenci pemuda-pemuda Islam, dan sangat pengasih kepada kalangan minoritas non Muslim; meskipun gerakan mereka membahayakan NKRI. Kaum Muslimin yang banyak jasanya bagi negara dibiarkan dianiaya, sedangkan kaum minoritas selalu mendapat pembelaan penuh.

7. Malapetaka 3: Dalam masa kepemimpinan SBY sangat banyak bencana-bencana alam, mulai dari Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, lumpur Lapindo, kecelakaan tragis, dll.

8. Malapetaka 4: Dalam masa kepemimpinan SBY kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan hebat. Inflasi tinggi, hutang luar negeri membengkak sampai Rp. 1733 triliun, pengangguran merebak, dominasi asing sangat kuat di segala sektor, beban anggaran negara sangat berat, dll.

9. Malapetaka 5: Di masa kepemimpinan SBY praktik korupsi merebak, mewabah, merajalela. Pejabat pemerintah seperti Gubernur, Bupati, Walikota banyak ditahan. Anggota DPR, menteri-menteri terlibat korupsi. Bahkan korupsi menyentuh aparat hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Tidak terkecuali, para politisi Partai Demokrat juga dirundung banyak masalah korupsi, seperti yang diungkapkan Nazaruddin. Isu korupsi yang menimpa Partai Demokrat sangat berat.

10. Malapetaka 6: Melalui laporan Wikileaks yang dipublikasikan koran Australia, Sydney Herald Morning dan The Age, SBY dituduh menyalah-gunakan kekuasaan untuk melakukan korupsi dan kejahatan politik. Keluarga SBY dituduh memanfaatkan posisi SBY untuk memperkaya diri. Isteri SBY, Bu Ani Yudhoyono malah disebut sebagai “broker proyek”. Belum pernah ada Ibu Negara di Indonesia mendapat sebutan demikian, selain isteri SBY. Ironinya, yang melaporkan berita-berita itu justru Kedubes Amerika Serikat, yang notabene kawan SBY sendiri; pelapornya, menteri-menteri SBY sendiri; dan publikasi oleh media Australia yang notabene adalah kawan SBY dalam pemberantasan terorisme.

11. Malapetaka 7: Pernyataan SBY tentang negara Amerika tersebar luas di tengah masyarakat. Pernyataan itu berbunyi, kurang lebih: “America is my second country. I love It, with all of faults.” Pernyataan ini tersebar dimana-mana, yang menjelaskan bahwa SBY tidak memiliki komitmen nasionalis. Dia memiliki sifat KHIANAT terhadap bangsanya sendiri. Tidak heran, kalau dalam pidato-pidatonya, SBY sangat senang memakai bahasa Inggris. Lucunya, saat Obama datang ke Tanah Air, lalu berpidato berdua bersama SBY; SBY harus berkali-kali dibisiki oleh Menlu Marty Natalegawa tentang isi pidato Obama tersebut. Forum yang seharusnya bisa membuat SBY dipandang mulia, malah membuatnya “kasihan deh lo”.

12. Malapetaka 8: Dapat disimpulkan, bahwa SBY adalah satu-satunya Presiden RI yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sama sekali tak memiliki kemampuan. Kemampuan satu-satunya SBY ialah membuat PENCITRAAN. Dari sisi kemampuan manajemen tidak ada; wawasan ekonomi, tak ada; ilmu pertanian, nol besar; wawasan bela negara, kosong melompong; kemampuan diplomasi, sami mawon; kemampuan retorika, nilai 4; kemampuan sains, wah tambah parah; dan seterusnya. SBY nyaris tak memiliki kelebihan apapun, selain membuat pencitraan. Sebagian purnawirawan jendral menyebut SBY sebagai “jendral salon”, “jendral kambing”, “terlalu banyak membaca”, dan sebagainya. Ini adalah penilaian yang sangat memprihatinkan.

13. Mapaletaka 9: …hal ini belum berjalan, dan akan terus berjalan sampai disempurnakan oleh Allah Ta’ala. Bentuknya, kita tidak tahu; bisa apa saja, sesuai kehendak-Nya. Kita hanya bisa menanti.

Apa yang disebut disini bukanlah fitnah atau cerita dusta. Ia benar-benar ada. Hanya saja, mungkin sebagian orang menyebutnya dengan istilah “kesialan SBY”, “mushibah bersama SBY”, “kelemahan SBY”, “malapetaka bersama SBY”, “kehancuran nama SBY”, dan lain-lain. Dalam tulisan ini, ia disebut “malapetaka”, sesuai dengan makna kata itu sendiri.

Ya, silakan Pak SBY, lanjutkan hidup Anda; lanjutkan apa saja yang Anda sukai; toh setiap orang berhak berbuat dan memutuskan, sedangkan dosa-dosa dan akibat, akan dia tanggung sendiri. Pak SBY ini sudah “masuk kantong”, karena dia sangat sentimen kepada para aktivis-aktivis Islam, terlalu jauh bermain-main dalam ranah kezhaliman isu terorisme; akibatnya banyak orang menyumpahi dan mendoakan malapetaka baginya.

“Semakin seseorang terjerumus jauh dalam kezhaliman kepada kaum Muslimin, semakin perih akibat yang tertanggung dalam dirinya, keluarganya, dan kehidupannya.”

Nas’alullah al ‘afiyah lana wa lakum ajma’in.

Bandung, 27 September 2011.

AM. Waskito.

sumber: http://abisyakir.wordpress.com/2011/09/03/ulil-amri-dan-ketaatan-politik-ummat/

Seri Materi Tauhid – 1 – Muqaddimah

Seri Materi Tauhid — 1 — Muqaddimah

Segala puji hanya milik Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.

Saat ini kita akan bersama-sama mengkaji Tauhid dan materi pertama yang akan kita bahas adalah berkenaan dengan muqaddimah yang sangat penting, yang mana dari muqaddimah ini kita akan mengetahui betapa besar kedudukan Tauhid dibandingkan dengan amal-amal yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengatakan dalam surat Adz-Dzaariyaat [51] : 56

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku."

Jadi tujuan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Kita sebagai hamba Allah, tentu kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kita ulangi, tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk mengabdi " liya' buduun" kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk bekal kehidupan kita. Allah Ta'ala berfirman:

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah [2] : 29)

Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang ada di perut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk mengabdi kepada-Nya, maka amat sangat keliru bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat, padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Banyak sekali manusia mengorbankan Tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana ini padahal Allah Ta'ala sangat menghati-hatikannya:

"Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaithan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah." (QS. Faathir [35] : 5)

Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.

Kita ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita —manusia— ini terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi zhalim. Manusia tidak bisa mengabdi sebenar-benarnya kepada Allah dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengutus para Rasul-Nya sebagai pembimbing manusia. Allah juga mengetahui bahwa Rasul-Rasul itu tidak akan hidup abadi di tengah umatnya, mereka pasti meninggal dunia, maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.

Jadi Rasul adalah pembimbing, Kitab adalah pedoman hidup, bila kita ingin mencapai kepada Allah, maka kita harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman, Al Kitab, Al-Qur'an) maka akan sampai pada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah, kitab yang diulurkan oleh syaitan dari Neraka, yaitu selain Kitabullah atau selain ajaran Rasul, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api Neraka. Berbeda jika orang memegang Al-Qur'an —tali yang diturunkan Allah ke dunia— maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.

Apakah inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu'." (QS. An-Nahl [16] : 36)

Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan pada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam adalah "Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah Thaghut"

Dalam ayat lain Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." (QS. Al-Anbiyaa [21] : 25)

Jadi bagi semua Rasul, yang pertama Allah wahyukan kepada mereka adalah " Laa ilaaha illallaah " dan Laa ilaaha illallaah ini yang disampaikan oleh para Rasul dalam ayat ke-36 Surat An-Nahl tadi ( "Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah Thaghut" ) Jika kedua ayat tersebut digabungkan, maka maknanya adalah:Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah Thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah Thaghut dan illallaah maknanya:Ibadah kalian kepada Allah.

Ajaran Tauhid ( Laa ilaaha illallaah ) ini disepakati oleh semua Rasul, dari Rasul pertama sampai Rasul terakhir, jadi ajaran para Rasul dalam masalah Tauhid adalah sama, perintah untuk hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi Thaghut.

Apakah Thaghut itu? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kita untuk menjauhi Thaghut. Apakah kita tahu apa Thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi Thaghut? Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa menjauhi Thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun: yang pertama: Laa ilaaha yang berarti jauhi Thaghut, sedangkan yang kedua: illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.

Orang yang menjauhi Thaghut tapi tidak beriman kepada Allah, maka tidak bermanfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak menjauhi Thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: "Ibadah kepada Allah dan menjauhi Thaghut".

Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa ilaaha illallaah yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah Thaghut. Allah Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus." (QS. Al-Baqarah [2] : 256)

Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaaha illallaah, tadi telah kita utarakan: Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang kafir terhadap Thaghut atau bahasa lainnya dalam Surat An-Nahl : 36 "menjauhi Thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)" maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaaha illallaah yang dijelaskan dalam Surat Al-Anbiyaa' [21] : 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaaha illallaah, artinya: Kalau orang tidak kafir terhadap Thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaaha illallaah meskipun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.

Jadi orang yang kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang "Al-'Urwah Al Wutsqa", Al-'Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah Tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.

Allah mensyaratkan bagi seseorang agar dapat dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada Allah dan kafir terhadap Thaghut atau menjauhi Thaghut dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun Islam yang paling pertama adalah Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu'anhuma, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam mengatakan: "Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah saw." Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam apabila berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah.

Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah sebagaimana kunci masuk Surga adalah Laa ilaaha illallaah. Maksudnya adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap Thaghut atau menjauhi Thaghut dan iman atau ibadah kepada Allah artinya: Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki kunci keIslaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallaah.

Oleh karena itu para 'ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu 'Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al 'Aziz Al Hamid: "Sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan Tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap Thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama".

Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya, maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma' para ulama.

Bahkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja'i, Beliau mengatakan: " Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah —maksudnya kafir terhadap Thaghut— maka haram darah dan hartanya ". Di sini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus Muslim yang haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap Thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak bermanfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir kepada Thaghut.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain: "Islam itu adalah menTauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan Muslim". Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallaah.

Jadi Laa ilaaha illallaah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya adalah kafir terhadap Thaghut atau menjauhi Thaghut.

Allah memerintahkan kita untuk menjauhi Thaghut, maka tak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang Thaghut, itu mustahil, shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan (Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul-ed) dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, apalagi Thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: "Jauhi Thaghut!" tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur'an dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap Thaghut? Kita tanya diri kita, apakah kita sudah tahu apa itu Thaghut? atau apakah justru kita mendekati Thaghut? atau malah kita iman kepada Thaghut? atau malah kita loyal kepada Thaghut? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.

Apabila kita paham bahwa keIslaman seseorang atau dengan kata lain seseorang tidak dikatakan Muslim, tidak dikatakan Mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya sebelum kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i'tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum Muslim, belum Mukmin. Maksudnya di sini adalah Muslim, Mukmin yang sebenarnya —bukan pengakuan saja—, yaitu Muslim yang merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: "Para ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku Muslim dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah" [Lihat Ibthal At Tandid].

Allah hanya akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah) karena orang tidak dikatakan Muslim dan tidak dikatakan Mukmin, kecuali kalau kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaaha illallaah.

Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap Thaghut.

1. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk Surga dan mereka tidak dizhalimi sedikitpun." (QS. An-Nisa [4] : 124)

Perhatikanlah ayat "dia itu Mukmin" sedangkan orang tidak dikatakan Mukmin, kecuali orang tersebut kafir terhadap Thaghut, karena —seperti yang sudah dijelaskan— pintu masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan Surga dan tidak sedikitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia Mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada Thaghut atau masih melakukan kemusyrikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan "sedang dia itu Mukmin" sebagai syaratnya.

2. Allah Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu Mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS. An-Nahl [16] : 97)

Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: "sedang dia itu Mukmin". Orang Mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah)

Dua ayat di atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan di ujungnya, sedang di tengahnya ada syarat: "sedang dia itu Mukmin".

3. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu Mukmin, maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya." (QS. Thaha [20] : 112)

Orang yang melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi ada syaratnya: "sedang dia itu Mukmin" orangnya Mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap Thaghut atau menjauhi Thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebaliknya jika orang melakukan amal shalih, tapi tidak menjauhi Thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

4. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu Mukmin, maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya." (QS. Al-Anbiyaa [21] : 94)

Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah 'Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: "sedang dia itu Mukmin". Berarti kalau seseorang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan "kafir terhadap Thaghut dan iman kepada Allah" (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

5. Allah Tabaraka Wa Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu Mukmin maka mereka akan masuk Surga, mereka diberi rizqi di dalmnya tanpa batas". (QS. Al Mu'min [40] : 40)

Ada balasan Surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan dengan syarat: "Sedang ia itu Mukmin"

6. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu Mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik." (QS. Al-Isra [17] : 19)

Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan syarat: "sedang dia itu Mukmin"

7. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi." (QS. Thaahaa [20] : 75)

Allah janjukan Surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat dia itu Mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada Thaghut.

Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu Muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah.

Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah.

Ketika Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: "Tukang sihir lagi pendusta" (QS. Shaad [38] : 4) "Penya'ir Gila" (QS. Ash-Shaaffat [37] : 36) dan dalam ayat yang lain dikatakan "sesat ". Semua perubahan ini terjadi karena Laa ilaaha illallaah.

Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penya'ir gila  melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallaah. Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallaah.

Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.

Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa ilaaha illallaah di hadapan Thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah maka akan terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang menggunjing, orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan Thaghut mengejar dan memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.

Nabi Nuh 'alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak: " Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun." (QS. Al-Ankabuut [29] : 14) Nabi Nuh 'alaihissalam dalam waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaaha illallaah.

Sekarang, shalat tidak dilarang di manapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir murtad atau Thaghut tidak melarang shalat, bahkan shalat dianjurkan, shaum bagi mereka adalah penghematan, haji bagi mereka menambah pendapatan negara, akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya. Itu semua adalah ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.

Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan Islam, hal itu adalah Laa ilaaha illallaah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak mengamalkannya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya —walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja yang ia miliki— apabila dia sudah merasakan nikmat Laa ilaaha illallaah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya demi meraih ridha Allah, meraih Surga dan selamat dari api Neraka.

Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, keThaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah yaitu:

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan [25] : 23)

Jadi tidak ada artinya alias hilang: shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya lenyap karena kemusyrikan. Amal shalih hanya akan diterima dengan syarat "sedang dia itu Mukmin", yaitu komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (berTauhid).

Firman-Nya yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih dan menjadi bagian kaum Muslimin padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari adalah...

"Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya." (QS. An-Nur [24] : 39)

Ayat "dan orang-orang kafir" adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah, baik itu mengaku Muslim atau non Muslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.

Allah memperumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah Muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk Surga dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa? Karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni Surga dan aman dari api Neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu. Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia)." (QS. Ibrahim [18] : 18)

Jika kita menyimpan debu di depan rumah, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai, maka apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, keThaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi." (QS. Az-Zumar [39] : 65)

Allah Ta'ala mengingatkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul. Beliau adalah orang Muslim, muwahhid, dan Mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan, beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka apa gerangan dengan kita?

Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa, bukankah ini suatu kerugian?

Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam kitabNya:

"Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am [6] : 88)

Andai kamu hai orang-orang Muslim, hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang Muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, jihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, tetapi realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan belum kufur terhadap Thaghut lalu merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:

"Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi [18] : 103-104)

Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni Surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala, mengira dirinya aman dari api Neraka. Tapi ternyata tidaklah seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi malah siksa api Neraka, karena apa? Karena belum merealisasikan inti dari ajaran Islam — Laa ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap Thaghut)— sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firmanNya Ta'ala:

"Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas." (QS. Al Ghaasyiyah [88] : 2-4)

Bukan Surga yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan di dunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.

Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti Thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firmanNya:

"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali." (QS. Al-Baqarah [2] : 166)

"Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, 'Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami'. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka." (QS. Al-Baqarah [2] : 167)

Jadi, Tauhid ( Laa ilaaha illallaah ) adalah inti kehidupan kita, inti dari dien kita. Realisasikan Tauhid ini, jauhi Thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta'ala menutup akhir hayat kita sedang kita belum berlepas diri dari keThaghutan, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah untuk menjauhi Thaghut.

Apakah Thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa Thaghut, yang mana Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir kepada Thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi Thaghut? Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaaha illallaah ? Apa saja yang menggugurkan Laa ilaaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaaha illallaah yakni yang membatalkan Tauhid kita.

Semua itu akan lebih memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat yang tadi kami sampaikan tentang begitu pentingnya Laa ilaaha illallaah dan begitu besarnya kandungan Laa ilaaha illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya pengamalan terhadap Laa ilaaha illallaah. Semua ini mendorong kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah dan bagaimana hukumnya berloyalitas terhadap Thaghut. Semua ini harus diketahui.

Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.

Alhamdulillahirrabbil'aalamiin.

(bersambung Insya Alloh ke: Seri Materi Tauhid – 2 – Inti Dakwah Para Rasul)