KOPI LUWAK DAN HIDUP YANG BERMAKNA

KOPI LUWAK DAN HIDUP YANG BERMAKNA

Oleh: Jum'an

The Bucket List adalah film drama-komedi tentang perjalanan terakhir dua orang penderita kanker yang sudah divonis bahwa ajal mereka sudah dekat. Carter (diperankan oleh Morgan Freeman) seorang montir yang penyabar dan Edward (Jack Nicholson) milyuner nyentrik, berada sekamar dirumah sakit setelah keduanya didiagnosa menderita kangker paru-paru terminal. Awalnya mereka saling tidak suka, tapi kemudian menjadi bersahabat seiring dengan waktu perawatan mereka. Edward sangat menikmati Kopi Luwak dari Sumatera salah satu kopi termahal didunia. (Lihatlah adegan tentang kopi luwak yang sangat menarik disini). Dikisahkan, mereka kemudian bersepakat memutuskan untuk menikmati sisa umur mereka dengan bersenang-senang bersama, melakukan hal-hal yang mereka dambakan sebelum ajal tiba. Merekapun mulai petualangan dan tamasya keliling dunia. Terjun payung bersama, saling memacu mobi balap, terbang di atas Kutub Utara, makan malam di restoran mewah Chevre d'Or di Perancis, mengunjungi Taj Mahal, naik motor diatas Great Wall China, melihat Taman Safari Singa di Afrika dan piramida di Mesir dan banyak lagi.

Diantara kita mungkin ada yang pernah mendapat pertanyaan: apakah yang akan anda lakukan bila anda diberitahu bahwa hidup anda tinggal enam bulan lagi. Entah bagaimana anda menjawabanya. Tetapi jawaban orang terhadap pertanyaan seperti ini bermacam-macam. Dari ingin segera menikah, pergi ketanah suci, melihat Tujuh Keajaiban Dunia atau seperti yang dilakukan oleh Carter dan Edward dengan bucket listnya. Tergantung siapa anda. Tetapi bagaimana kalau pertanyaan itu dirubah menjadi: apakah yang anda kerjakan bila diberitahu hidup anda tinggal dua atau tiga jam lagi? Ah..... ini menakutkan! Toh jawaban orang tetap berbeda-beda. Tetapi tidak lagi terpikir tentang menikmati kopi luwak atau pergi ketanah suci, apalagi menikah (lagi!). Mungkin jawaban kita: Saya ingin dekat-dekat dengan ibu saya. Saya akan memeluk isteri saya erat-erat. Saya akan bersujud, tobat dan mohon ampun.

Dr. Omid Safi, dosen tasauf dan sejarah Islam pada Univ. North Carolina, pernah mengedarkan kedua seperti itu dikalangan mahasiswanya (di Amerika tentunya) dengan sifat mereka yang beragam. Ia mencatat diantaranya, ketika kesadaran bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas menjelma menjadi betapa berharganya setiap tarikan nafas, orang tidak lagi memikirkan "ingin pergi kemana" tetapi justru beralih fokus kepada "ingin bersama siapa"- seperti ibu, isteri atau Tuhan. Kita berpindah dari apa yang ingin kita kerjakan dan mulai merenungkan bagaimana kita jadinya nanti. Ironisnya, dengan merenungkan kematian kita memperoleh jawaban tentang hidup yang lebih bermakna

Rasulullah pernah bersabda: “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan bersiaplah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok. Mati besok? Besok itu hanya 24 jam, hanya satu malam lagi! Apa yang paling baik, paling bermakna, paling nikmat, paling bermanfaat  yang dapat dikerjakan dalam waktu sependek itu? Mau duduk terus diatas sajadah? Tetapi siapa tahu umur kita masih panjang! Lihatlah! Paman kita juga masih segar bugar. Oh, alangkah keramatnya nafas yang terbatas ini.  Kita tidak pernah tahu kapan ajal tiba, hanya pedoman Rasulullah saw inilah mungkin satu-satunya jalan untuk menempuh hidup yang bermakna.

Janji morsi menjelang putaran dua vs perjuangan media barat ? (Hal yang harus kita cermati)

Copts between Shafiq and Morsi: an easy choice

During the first round of Egypt's presidential elections, the Coptic vote was split; when it comes to the second round there are a number of factors pushing Copts towards Shafiq

Egyptians face a choice between Mubarak-era aviation minister Ahmed Shafiq and the Muslim Brotherhood’s Mohamed Morsi in presidential runoffs to be held on 16 and 17 June.

Copts are considered an important factor in deciding who is going to be Egypt’s next president. Will they vote for Shafiq or Morsi? . It is estimated that about 2.5 -3 million Copts voted in the first round and that 50-60% of them are expected to vote in the second and final round.

Rooted in the Coptic mind for a while are fears and concerns of a state governed by Islamists. There has long been mistrust between Islamists, especially the Muslim Brotherhood and Copts. Copts fear being treated as a minority and that their freedoms and rights would be restricted under an Islamic state headed by the Muslim Brotherhood.

On the other hand, Islamists do not believe that Copts should be in high leadership positions according to their interpretation of Islamic sharia. They are many issues that increase the gap between the two sides.

Mohamed Morsi, in his press conference after the first round of the presidential elections, spoke in general terms about how the institution of the presidency would include Copts, women, youth and others. He was not specific however about which positions he might give to Copts.

http://english.ahram.org.eg/NewsContentP/4/44639/Opinion/Copts-between-Shafiq-and-Morsi-an-easy-choice.aspx

===========================================================

ternyata setelah terus mengamati perjalanan pemilu mesir... Ada hal yang harus kita cermati. 

kalau baca sampai sini.. kesimpulan bisa simpang siur.. Tapi apa daya tak ada waktu untuk menyambung tulisan ini.. sementara ini aja dulu :-)

Sambungan Langsung ke Penjara Raksasa Gaza

Masjid Darussalam Griya Tugu Asri mengundang Anda hadir dalam acara:

Sambungan Langsung ke Penjara Raksasa Gaza

Ahad, 12 Shaban 1433 H / 1 Juli 2012, Jam 8 pagi-selesai (insya Alloh)

di Masjid Darussalam Perumahan Griya Tugu Asri, Cimanggis, Depok, Jawa Barat

(1) Pemutaran Film dan Foto Terbaru,

(2) Telekonferensi Depok-Gaza,

(3) Lelang Seni Kerajinan Palestina,

(4) Galang Bantuan (Munasharah),

(5) Laporan Perjalanan ke Penjara Raksasa Gaza oleh:

Dzikrullah dan Santi Soekanto (Tim Relawan Sahabat al-Aqsha selama tiga pekan di jalur Gaza)

Salurkan Infaq Terbaik Anda:

Bank Syariah Mandiri No. Rek. 154 000 6443 a.n. M Fanni bdn Palestina

Bank Muamalat No. Rek. 9244 632 778 a.n. M Fanni cq Sahabat al-Aqsha

sahabatalaqsha.com

Sebuah Renungan Tentang Urgensi Akidah

Suatu hari, sebelum diharamkannya khamr, beberapa sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam berkumpul di sebuah kebun untuk minum khamr bersama. Di tengah keasyikan mereka itu, tiba-tiba datanglah utusan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan!”. Serta merta mereka pun menghentikan aktivitasnya. Bahkan khamr yang tersisa di mulut yang hanya tinggal ditelan, mereka muntahkan pula. Gentong-gentong khamr yang masih tersisa di rumah para sahabat pun ditumpahkan, hingga lorong-lorong kota Madinah becek dengan khamr.

Subhanallah! Bentuk kepatuhan luar biasa terhadap aturan agama.

Empat belas abad lalu, di suatu siang, salah seorang sahabat; Mâ’iz bin Mâlik radhiyallahu’anhu datang menemui Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah sucikanlah aku!”.

“Celaka engkau, kembalilah! Beristighfar dan bertaubatlah engkau kepada Allah!” jawab beliau.

Dia mundur tidak jauh, lalu datang kembali dan berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!”.

“Celaka engkau, kembalilah! Beristighfar dan bertaubatlah engkau kepada Allah!” tukas beliau lagi.

Dia mundur tidak jauh, kemudian datang kembali seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!”.

Namun Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tetap memberikan jawaban yang sama. Akhirnya di kali keempatnya beliau bertanya, “Kusucikan engkau dari apa?”.

“Sucikanlah aku dari perbuatan zina!”.

Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bertanya apakah dia tidak waras? Dijawab, “Dia waras”.

“Apakah dia baru saja minum khamr?”.

Seorang sahabat berdiri dan membaui mulutnya, ternyata tidak tercium bau khamr.

Akhirnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun memastikan, “Apakah engkau benar-benar telah berzina?”.

“Ya” jawabnya dengan pasti.

Lalu ia diperintahkan untuk dirajam sampai mati.

Setelah Mâ’iz meninggal, para sahabat terbagi menjadi dua. Sebagian mencela Mâ’iz dan sebagian yang lain memujinya, hal itu berlangsung dua hingga tiga hari.

Di hari ketiga Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun bersabda,

“Ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang jika dibagikan kepada suatu umat, niscaya taubat tersebut cukup untuk mereka semua”. (HR. Muslim dari Buraidah radhiyallahu’anhu.)

Subhanallah, kebeningan hati luar biasa, yang manakala tergores noda maksiat dia amat tersiksa dan merasa gundah gulana serta ingin untuk segera bening kembali!

Dua potret kejadian di zaman nubuwwah di atas, menggambarkan dengan jelas kepada kita betapa tinggi tingkat kepatuhan para sahabat dengan aturan agama. Dan betapa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah menggoreskan prestasi keberhasilan yang tidak ada bandingnya, dalam menanamkan benih-benih ketaatan dalam jiwa para sahabat.

Tanpa diawasi beliaupun, mereka tetap menjalankan syariat dengan ketundukan sempurna! Manakala bersalah, mereka segera mengakui kesalahannya, tanpa harus diseret ke penjara, dikorek-korek di pengadilan serta berkelit ke kiri dan ke kanan.

Bandingkan dengan kondisi banyak manusia di zaman ini, yang giat bekerja manakala diawasi oleh atasan, namun begitu pengawasan lengah, mereka bergegas memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mental-mental ‘ABS (Asal Babe Senang)’!

Kembali kepada pembahasan tentang keberhasilan Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam mendidik para sahabatnya. Tidakkah terbetik dalam diri kita sebuah pertanyaan mendasar, “Bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam hanya dalam rentang waktu belasan tahun berhasil mencetak generasi unggul dalam beragama? Apa gerangan resep suksesnya? Apa pula hal pertama yang beliau tanamkan dalam jiwa para sahabat sebagai pondasi kokoh yang menjadi landasan bangunan kuat di atasnya?”.

Jawaban dari seluruh pertanyaan di atas terangkum dalam penuturan Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut, tatkala beliau menjelaskan metode penurunan al-Qur’ân secara bertahap,

“Sesungguhnya (surat al-Qur’ân) yang pertama kali diturunkan adalah surat yang menceritakan tentang Surga dan Neraka. Tatkala saat itu orang-orang (para sahabat) telah berbondong-bondong masuk Islam, baru turun (ayat-ayat yang menjelaskan hukum) halal dan haram. Seandainya (ayat) yang pertama kali turun adalah “Jangan kalian minum khamr (minuman keras)”, niscaya orang-orang akan berkata, “Selamanya kami tidak mau meninggalkan khamr”. Begitu pula jika (ayat) yang pertama kali turun, “Jangan kalian berzina”, niscaya mereka akan berkata, “Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya”…”.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh menjelaskan maksud dari perkataan di atas, “Aisyah menerangkan hikmah Allah ta’ala di balik pengaturan susunan turunnya (ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’ân).

(Surat atau ayat) al-Qur’ân yang pertama kali turun adalah dakwah kepada Tauhid dan pemberian kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan taat; bahwa mereka akan dimasukkan ke Surga. Juga ancaman bagi orang kafir; bahwa mereka akan dimasukkan ke Neraka. Tatkala umat telah merasa mantap dengan hal itu, baru kemudian (ayat-ayat yang menjelaskan tentang) hukum-hukum (halal dan haram) diturunkan. Oleh karena itu Aisyah berkata, “Seandainya (ayat) yang pertama kali turun adalah “Jangan kalian minum khamr dst”. Sebab rata-rata orang akan merasa berat untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang telah lama digemarinya”.

Jadi, sumber kesuksesan pendidikan Rasul shallallahu’alaihiwasallam adalah karena beliau memulai dakwahnya dengan poin yang diperintahkan Allah ta’ala sebagai titik tolak dalam berdakwah, yakni: Tauhid atau Akidah.

Manakalah akidah itu lurus dan benar serta menghunjam kuat dalam dada kaum muslimin, maka saat itu insyaAllah keberhasilan, kejayaan, kemenangan akan senantiasa datang menyapa mereka.

Namun kebalikannya, manakala akidah tersebut rapuh, maka akan rapuh pulalah seluruh lini kehidupan mereka.

Carut marutnya kondisi tanah air kita tercinta saat inipun, sejatinya bersumber dari kerapuhan akidah banyak dari penduduk negeri ini.

Tahukah Anda, bahwa korupsi yang merajalela saat ini bersumber dari lemahnya akidah para pelakunya?

Andaikan mereka berbekal akidah kuat, yang membuahkan rasa takut kepada Allah dan sadar akan pengawasan Allah ta’ala yang tidak pernah lengah apalagi tidur, niscaya mereka akan berhenti untuk berkorupsi ria, walaupun tidak diawasi oleh KPK!

Tahukah Anda, bahwa dekandensi moral dan merebaknya pergaulan bebas di antara muda-mudi bangsa ini juga bersumber dari sakitnya akidah mereka?

Andaikan mereka memiliki akidah kuat, yang membuahkan kesadaran akan adanya kehidupan lain setelah kehidupan fana ini, akan adanya hari kiamat dan akan adanya hari pembalasan amalan, niscaya mereka akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak tanduk.

Akidah memang tidak terlihat, namun sangat urgen. Seperti pondasi suatu bangunan yang tidak terlihat, namun begitu vital bagi kekokohan dan kekuatan bangunan, tanpanya dia akan ambruk. Akidah bertempat dalam hati, jika lurus maka akan luruslah lahiriah manusia, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik maka seluruh jasad akan baik. Namun jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa segumpal daging tersebut adalah: hati”. (HR. Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu.)

Bukanlah mudah mendirikan bangunan kuat akidah insan, sebab membutuhkan waktu lama dan usaha yang tiada henti. Lihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selama tiga belas setengah tahun tanpa kenal lelah berjuang menancapkan akidah dalam jiwa umatnya!

Tidak kalah, Nabi Nuh ‘alaihissalam, siang dan malam, selama 950 tahun berjibaku menegakkan kalimat suci akidah di muka bumi.

“Sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, dan dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun”. (QS. Al-Ankabut: 14)

Wahai kaum muslimin, inilah jalan para nabi, tidak sepantasnyakah kita meniti jalan mereka??

Seluruh keterangan di atas bukan berarti kita mengesampingkan sisi syariat Islam lainnya; semisal ibadah dan akhlak. Bagaimana mungkin akan dilalaikan, sedangkan itu juga merupakan bagian dari Islam? Bahkan Islam tidak akan tegak sempurna kecuali dengan itu semua!

Namun yang kita inginkan adalah, bagaimana kita meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam berdakwah dan bersikap. Memulai dengan sesuatu yang beliau mulai dan memprioritaskan sesuatu yang menjadi prioritas beliau. Bukankah kita semua sepakat bahwa beliau adalah qudwah dan panutan kita semua?

Sumber: http://tunasilmu.com/sebuah-renungan-tentang-urgensi-akidah.html

DENGARKAN DULU SEBELUM BERDAMAI

DENGARKAN DULU SEBELUM BERDAMAI

Oleh: Jum'an

Kalau ingin berdamai dengan siapapun yang kita mau, setidaknya ada dua syarat yang harus kita penuhi. Pertama kita harus mempunyai kemampuan ber-empati yaitu memahami dan merasakan ihwal orang lain. Empati menuntut kita untuk menyimpan dulu kepentingan dan perspektif sendiri dan berusaha untuk memahami penjelasan orang lain. Kedua, kita harus menghilangkan keinginan membalas dendam, dan fokus pada kemungkinan damai yang akan datang saja. Dalam mengupayakan perdamaian kita sangat perlu untuk mendengarkan dengan seksama (deep listening-menyimak) yaitu, mendengar, menerima dan bahkan menghormati penjelasan yang bertentangan dengan kita sendiri. Dr. Homayra Ziad, dosen agama Islam pada Trinity College, memberikan contoh deep listening dalam blog "Learning to Listen", Huffington Post 8 Juni lalu:

Dalam Al-Qur’an dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman (as) dikaruniai kemampuan untuk berkomunikasi dengan makhluk selain manusia. Tentaranya terdiri dari manusia, jin dan burung-burung yang diperintah dengan tertib. Ketika dia bersama pasukannya hendak melewati sebuah lembah semut, berkatalah seekor diantaranya: ”Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sedang mereka tidak menyadari."

Ini adalah satu insiden yang dilihat oleh dua pihak dengan pandangan yang sangat berbeda. Apa yang oleh Sulaiman dilihat sebagai upacara kemiliteran rutin, semut memandangnya sebagai bahaya yang dapat menghancurkan seluruh masyarakatnya. Sulaiman bisa dengan mudah menjawab dengan arogan: “Makhluk kecil ini, dia pikir siapa dirinya?”, atau dengan kebencian: “Kamu pikir Monster macam apa aku ini”, atau tidak percaya: “Semut gila!”. Tapi semut itu telah menuduhnya sebagai seorang pembunuh, atau setidak-tidaknya tak peduli. Sebaliknya, Sulaiman (as) benar-benar mendengarkannya. Mula-mula dia tersenyum. Lalu senyumnya berubah menjadi tawa gembira - ia menangkap maksudnya. Hidup semut penuh bahaya. Dia sudah kehilangan puluhan ribu warganya di bawah sepatu ceroboh manusia. Para ahli tafsir mengatakan bahwa Sulaiman (as) lalu menghentikan pasukannya sampai semut-semut memasuki sarang mereka.

Seorang komandan menghentikan barisan pasukannya bukanlah hal yang aneh. Tidak pula merendahkan kegagahan sikap tentara. Tetapi dengan risiko kehilangan muka, panglima tertinggi Sulaiman berendah hati demi kepentingan sekelompok semut! Dan kemudian, Qur'an mengisahkan, Sulaiman (as) menengadah kepada Allah dengan rasa syukur karena telah membimbingnya melakukan hal yang benar dan berlindung kepada belas kasihan-Nya (Surat al-Naml  ayat 17-19.) Mungkin dia berterima kasih atas pelajaran yang berharga: pasukannya mungkin terkuat di dunia, tetapi bahwa ada jalan lain yang lebih kekal yaitu untuk berdamai....

Sulaiman (as) telah mengajarkan bahwa jika kita mulai mendengarkan, kita dapat menemukan diri kita berubah. Kita hanya mampu mendengar dengan seksama apabila batin kita bulat dan tidak retak. Perdamaian harus dimulai dengan diri sendiri, karena diri yang retak adalah akar penyebab banyak masalah dalam hidup kita.... Wallohu a'lam.

Media yang tidak fair di Burma terhadap Minoritas muslim disana (konflik Burma)

Media yang tidak fair di Burma terhadap Minoritas muslim disana.
 



Konflik Burma: Sesuatu yang media sembunyikan dari anda

Oleh Francic Wade

Beberapa faktor yang menyulut konflik antar golongan di sebelah barat Burma, tidak sepenuhnya di sampaikan oleh media.

Satu hal yang orang-orang tidak begitu transfaran mengungkapkannya yaitu kekerasan yang jelas dilakukan oleh Hindu Burma dan pihak Arakanese yang harus mereka pertanggung jawabkan (mungkin karena Akses mereka ke media lebih besar sehingga  Opini mereka lebih sering terdengar).

Hal ini terlihat pada Pimpinan pro demokrasi Burma yang menamakan diri mereka "kekuatan untuk perubahan" di negara tersebut. Aktivist Ko ko Gyi menyampaikan bahwa "kehadiran etnis Rohingya, Etnis minoritas muslim disana adalah melanggar kedaulatan Burma". 

Bahkan seorang teman saya mengatakan kepada saya bahwa dia menerima email dari mantan tahanan politik yang mengatakan bahwa" Jika memang negara-negara barat mendukung hak asasi manusia, mereka akan melakukan pengusiran Rohingnya dari Burma"

Peran aparat keamanan dalam kerusuhan itu juga telah dilaporkan, yang memberikan kontribusi atas laporan tersebut dari juru bicara Uni Eropa: "Kami percaya bahwa pasukan keamanan menangani konflik ini dengan cara yang tidak pantas." Apa yang diberitakan tidak sesuai dengan laporan dari penduduk setempat .

Setidaknya empat orang mengatakan kepada saya bahwa polisi bertindak bersama Kaum Arakan dalam pembakaran rumah-rumah umat Islam, sementara beberapa laporan telah muncul bahwa polisi menembaki kerumunan Muslim 

( INFO: MUSLIM TIDAK DIBENARKAN MASUK POLISI ATAU TENTARA DI BURMA)

Seorang pekerja LSM mengatakan semalam bahwa keluarga temannya, seorang mantan politisi Sittwe, telah dibunuh setelah ditahan lebih dari sepekan, sementara AFP melaporkan bahwa seorang etnis Rohingya yang ditembak oleh polisi Birma meninggal di Bangladesh.

PBB sepertinya tidak mau bertindak sebelum ada laporan jelas dari wakil negara tersebut sementara hal itu berada ditangan kaum mayoritas disana. PBB bahkan telah menarik staffntya dari wilayah tersebut. Tetapi Human Rights Watch telah mendesak pemerintah untuk mengizinkan pengamat masuk

Sebuah sumber mengatakan adanya kampanye gelap untuk membuat Muslim sebagai sebagai pihak yang yang berada dibalik pembunuhan . Salah satu contohnya adalah mereka mencukur kepala korban meninggal (dari pihak muslim), dan memberikan mereka pakaian jubah biksu . Mereka dan media akan mengambil fotomayat biksu palsu dan menunjukkan kepada dunia bahwa mayat tersebut dibunuh oleh Muslim.

Hal ini sama seperti kasus masa lalu anti muslim di Burma , Media kini telah di penuhi berbagai debat dengan perkataan pedas. Sedikit yang saya dipublikasikan di Al Jazeera kemarin  telah menarik 150 komentar dan memicu perdebatan disana. Banyak komentar yang tidak membangun disana, bahkan dari para veteran kerusuhan di Burma, yang tidak memberi masukan buat mengatasi krisis berlangsung, melainkan memanfaatkannya sebagai sarana untuk melampiaskan fanatisme mereka sendiri.





Pasukan keamanan Burma yang sedang berjalan menuju bangunan yang terbakan di Sittwee, ibu kota Rakhine.


MISTERI YANG MENGGUNCANG IMAN

MISTERI YANG MENGGUNCANG IMAN

Oleh: Jum'an

Minggu 17 Juni 2012 lalu Paus Benediktus XVI memberi sambutan lewat rekaman video, pada penutupan Sidang Ekaristi Internasional ke 50 di Dublin Irlandia. Diantaranya ia berkata bahwa pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh para pendeta dan pejabat gereja lainnya adalah misteri. Bagaimana bisa mereka melecehkan anak-anak yang dipercayakan dalam perawatan mereka, merusak iman dalam gereja dengan cara yang keji. Dengan menyebut skandal yang banyak terjadi dilingkungan gereja Katolik Irlandia itu sebagai "misteri", Paus telah membangkitkan kemarahan umat yang setia di Irlandia. Pidato Paus tentang skandal seks yang ditutup-tutupi oleh hirarki gereja itu didengarkan oleh 75.000 umat Katolik (kebanyakan dari Luar Negri) yang hadir pada penutupan Konggres Ekaristi Internasional itu. Presiden dan Perdana Menteri Irlandia juga hadir dalam konggres yang bertujuan untuk menegakkan kembali iman yang lesu. Sidang selama seminggu itu disuasanai kemarahan yang memuncak atas skandal yang selalu ditutup-tutupi dan kenyataan terus menurunnya pengunjung misa mingguan di Irlandia di mana gereja dan negara dulu terjalin dengan erat.Bagaimana mungkin orang yang selalu menerima Kristus dan mengakui dosa mereka dalam sakramen pertobatan telah berbuat begitu keji? " kata Paus mengacu kepada pejabat gereja yang menganiaya anak-anak. Kekristenan mereka jelas tidak lagi dipupuk oleh kasih Kristus. Sudah menjadi sekedar rutinitas belaka." Uskup Agung Dublin Diarmuid Martin mengatakan gereja di Irlandia menghadapi perjuangan berat untuk dapat bertahan hidup.  “Rasa syukur dan sukacita atas iman dan rahmat yang begitu besar telah terguncang dahsyat oleh kenyataan dosa yang dilakukan oleh para pendeta dan orang-orang yang dianggap suci terhadap orang-orang yang dipercayakan pada mereka. Bukannya menunjukkan jalan menuju Kristus, bukannya menjadi saksi atas kebaikannya, mereka justru menzalimi orang dan meruntuhkan kredibilitas gereja," kata Paus.

Sudah 10 tahun lebih barisan pembela korban skandal seks oleh para pendeta (SNAP =  Survivors Network of those Abused by Priests) menuntut agar para pemimpin gereja di Irlandia dan di Vatikan mengakui kesalahan mereka melindungi para pendeta pedofil. Empat penelitian oleh pemetintah telah mendokumentasikan puluhan ribu anak dari tahun 1940 - 1990 yang mengalami pelecehan seks, fisik dan mental di tangan pendeta, biarawati dan staf gereja di tiga keuskupan Irlandia dan di LSM (NGO) yang bekedok sekolah untuk anak gelandangan. Di Irlandia, Amerika dan banyak negara lain, uskup dan pemimpin gereja lainnya telah dituduh secara sistematis menutupi para pendeta pedofil, dengan memindahkan mereka dari paroki ke paroki tanpa memberitahu jemaat yang taat beragama. Kekecewaan SNAP tentang penyebutan "misteri" oleh Paus dikatakan oleh wakilnya Barbara Doris, bahwa pidato Paus itu basi, menyebut nama skandal itu secara jelas saja Paus tak mau. "Paus salah: tidak ada misteri di sini," tegas Dorris. Kekusaan pendeta yang hampir mutlak, terhadap anak-anak yang taat dan tak berdaya, serta para uskup yang menyalah-gunakan kekuasaanlah yang memungkinkan kejahatan keji terhadap anak-anak."……

Katakanlah saya bodoh, katakan saya terlalu naif untuk mengomentari kasus umat agama lain, katakanlah itu bukan urusan kita. Tetapi tentang seks kaum laki-laki saya tahu. Bahwa nafsu syahwat terhadap perempuan (hubbussyahawat minannisa) adalah hiasan (beauty) kami. Asli dari sang Pencipta. Kodrat yang melekat.. Siapapun yang berusaha membekap dan mengingkarinya, nafsu itu akan bocor tumpah kemana-mana. Keanak-anak, kesesama lelaki bahkan ke binatang mungkin. Yang wajar adalah memenuhi dan mengendalikannya sesuai petunjuk Allah.

Permudah akes ramaja mendapatkan kondom " menkes baru Mboi"

Gebrakan Menkes : Kondom untuk Remaja?


Jakarta, Menkes yang baru sudah resmi dilantik oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masa kerjanya memang tak lama, hanya 2,5 tahun. Namun bukan berarti masa bakti yang singkat itu menghalangi Menkes untuk membuat suatu perubahan yang signifikan demi tercapainya kondisi kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Dalam jumpa pers yang digelar di Ruang Leimena kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (14/6/2012) kemarin, Menkes memang masih belum dapat mengemukakan program-program kerja seperti apa yang akan dilaksanakan secara konkrit.

"Saya sudah menandatangani kontrak kinerja dengan presiden. Yang bagus adalah, di dalam kontrak kinerja ada targetnya, misalnya memastikan pencapaian target kemenkes 2014. Jadi, saya bersama teman di kemenkes tinggal memonitor program-program yang ada agar selesai sesuai target yang ditetapkan bersama. Saya tidak bikin target baru dalam kontrak kinerja yang juga sudah ditandatangani Bu Endang (Alm.) ini," kata Menkes.

Rencananya, Menkes bersama jajaran mulai besok pagi akan membahas secara intensif tantangan apa yang akan dihadapi oleh Kementerian Kesehatan untuk beberapa tahun mendatang. Namun secara eksternal, Menkes mengaku tantangannya adalah wilayah Indonesia yang sangat luas dan memiliki masalah kesehatan yang berbeda-beda.

"Untuk pastinya, silakan tanya saya lagi satu bulan dari sekarang," demikian kata Menkes.

Disindir mengenai permasalahan HIV/AIDS yang telah menjadi isu yang akrab ditangani selama beberapa tahun terakhir, Menkes yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Komite Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional ini berharap dapat melakukan gebrakan. Yaitu mengusulkan agar remaja dipermudah aksesnya untuk mendapat kondom.

"Kita berharap bisa meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja. Dalam Undang-Undang, yang belum menikah tidak boleh diberi kontrasepsi. Namun kami menganlisis data dan itu ternyata berbahaya jika tidak melihat kenyataan. Sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya menurut data dari BKKBN," kata Menkes.

Menkes melihat, angka sebanyak itu menunjukkan bahwa banyak remaja mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ia menegaskan, Undang-Undang perlindungan anak menyatakan bahwa setiap anak yang dikandung sampai dilahirkan harus diberikan haknya sesuai UU Perlindungan Anak. Maka, mempermudah akses remaja untuk mendapatkan kondom diharapkan dapat menekan angka aborsi dan kehamilan yang tak diinginkan.

Tentu saja hal ini mungkin akan mendapat pertentangan dari kelompok-kelompok tertentu yang menganggap pemberian kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas. Tapi Menkes berpendapat, jika pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi sudah cukup baik, tidak perlu ada kekhawatiran idenya ini akan memicu seks bebas.

"Kita akan membahas bagaimana hak-hak anak dalam kandungan ini dapat terpenuhi. Kampanye kondom difokuskan untuk seks yang berisiko. Untuk mempercepat pencapaian goal MDGs, maka kampanye kondom merupakan suatu kewajiban. Setiap hubungan seks yang berisiko menularkan penyakit atau kehamilan yang tak diinginkan adalah hubungan seks yang berisiko," tegas Menkes.

sumber: detikhealth

Bagi lulusan SMA yang memang berniat jadi PNS

Daftar Perguruan Tinggi Kedinasan di Indonesia.

Bagi para lulusan SMA sederajat yang memang sudah bulat keinginan untuk jadi PNS, PTK adalah jalur yang tepat. Mereka tidak perlu mengikuti jalur PTN dimana PTN umumnya mempunyai biaya yang lebih besar dari PTK. PTK sering menyediakan beasiswa dari instansi yang terkait, disamping itu lulusan PTK akan mendapat ikatan dinas dari instansi yang membawahinya sehingga peluang untuk langsung menjadi PNS akan lebih besar dibandingkan dengan lulusan PTN. Yang penting siapkan diri kamu, belajar dengan benar, dan ingat " JANGAN BERMENTAL MANDOR DAN KORUPSI !!" Rakyat sudah jenuh dengan hal itu.

Inilah daftar PTK di Indonesia

Badan Intelijen Negara
  1. Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), Sentul, Bogor, Jawa Barat
Badan Meteorologi Dan Geofisika
  1. Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG), Pd. Betung (Bintaro, Tangerang, Banten)
Badan Pertahanan Nasional
  1. Akademi Militer (TNI Angkatan Darat), Magelang, Jawa Tenkkgah
  2. Akademi Angkatan Laut (TNI Angkatan Laut), Surabaya, Jawa Timur
  3. Akademi Angkatan Udara (TNI Angkatan Udara), Yogyakarta
  4. Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (TNI Angkatan Laut), Surabaya, Jawa Timur
  5. Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Darat (TNI Angkatan Darat), Malang, Jawa Timur
Badan Pertanahan Nasional
  1. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta
Badan Pusat Statistik
  1. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Jakarta
Badan Tenaga Nuklir Nasional
  1. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN), Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Departemen Dalam Negeri
  1. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), gabungan dari STPDN dan IIP
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral
  1. Akademi Minyak Dan Gas Bumi (Akamigas), Cepu, Blora, Jawa Tengah
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia
  1. Akademi Imigrasi (AIM), Gandul (Cinere, Kota Depok, Jawa Barat)
  2. Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), Gandul (Cinere, Kota Depok, Jawa Barat)
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
  1. Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung(STPB), Bandung, Jawa Barat
  2. Sekolah Tinggi Pariwisata Bali (STB Bali)
  3. Akademi Pariwisata Medan
  4. Akademi Pariwisata Makasar
Departemen Keuangan
  1. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Kabupaten Tangerang
Kementerian Kelautan dan Perikanan
  1. Sekolah Tinggi Perikanan (STP), Jakarta, DKI Jakarta
  2. Akademi Perikanan Bitung (APB), Bitung, Sulawesi Utara
  3. Akademi Perikanan Sidoarjo, APS, Surabaya, Jawa Timur
  4. Akademi Perikanan Sorong, APSOR, Sorong, Papua Barat
  5. Sekolah Tinggi Perikanan Bogor (STP Jurluhkan), Bogor, Jawa Barat
  6. Sekolah Usaha Perikanan Menengah Bone (SUPM Bone), Bone, Sulawesi selatan
Departemen Kesehatan
  1. Akademi Fisioterapi Surakarta, Jawa Tengah
  2. Akademi Keperawatan
  3. Akademi Teknik Medik
Departemen Perhubungan
  1. Sekolah Tinggi Transportasi Darat Bekasi, Jawa Barat
  2. Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, DKI Jakarta
  3. Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Jawa Barat
  4. Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Medan, Sumatra Utara
  5. Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Surabaya, Jawa Timur
  6. Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan Makassar, Sulawesi Selatan
  7. balai pendidikan dan pelatihan ilmu pelayaran tangerang, banten
Departemen Perindustrian RI
  1. Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung (ST3), Bandung, Jawa Barat
  2. Sekolah Tinggi Manajemen Industri Jakarta (STMI), Jakarta, DKI Jakarta
  3. Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta (ATIK), Yogyakarta, DIY
  4. Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta (APP), Jakarta
  5. Akademi Teknologi Industri Padang (ATIP), Padang, Sumatra Barat
  6. Akademi Teknologi Industri Makassar (ST3), Makassar, Sulawesi Selatan
  7. Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan (PTKI), Medan, Sumatra Utara
  8. Akademi Kimia Analisis Bogor (AKA), Bogor, Jawa Barat
Departemen Sosial
  1. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Bandung, Jawa Barat
Kepolisian Negara RI
  1. Akademi Kepolisian (Akpol), Semarang, Jawa Tengah
Lembaga Administrasi Negara
  1. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN), Bandung, Jawa Barat
Departemen Pertanian ; Perkebunan ; Kehutanan
  1. Politeknik LPP Yogyakarta (PLPP), Yogyakarta, DI Yogyakarta
  2. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agribisnis Perkebunan (STIP-AP), Medan, Sumatera Utara
  3. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan (STPP Medan), Medan, Sumatera Utara
  4. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang (STPP Magelang), Magelang, Jawa Tengah
  5. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa (STPP Gowa), Makassar, Sulawesi Selatan
  6. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Malang (STPP Malang), Malang, Jawa Timur
  7. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor (STPP Bogor), Bogor, Jawa Barat
  8. Sekolah Pertanian Pembangunan Banjarbaru (SPP Banjarbaru), Banjarbaru, Kalimantan Selatan
  9. Sekolah Pertanian Pembangunan Kupang (SPP Kupang), Kupang, NTT
  10. Sekolah Pertanian Pembangunan Sembawa (SPP Sembawa), Sembawa, Sumatera Selatan
Lembaga Sandi Negara Republik Indonesia
  1. Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN), Bogor, Jawa Barat


sumber data


WE WANT BEER - WE WANT BEER

"WE WANT BEER- WE WANT BEER"

Oleh: Jum'an

Januari 1920. Amandemen ke 18 Konstitusi Amerika mulai berlaku. Isinya, melarang penjualan, pembuatan atau pengangkutan alkohol. Ini dielu-elukan oleh kaum agama dan moralis sebagai langkah positif untuk membersihkan masyarakat dari kejahatan akibat minuman keras (miras). Pendeta fanatik Billy Sunday mengobarkan semangat umatnya dengan ramalan yang optimis: "Zaman air mata segera berakhir. Daerah kumuh tinggal kenangan. Kita akan mengubah penjara menjadi pabrik dan sel-sel menjadi lumbung gandum. Kaum pria akan melangkah tegak, wanita akan tersenyum dan anak-anak akan tertawa. Neraka akan kita kontrakkan untuk selamanya........." Upaya melarang minuman keras sudah ada sejak berabad-abad; yang secara tradisional dipelopori oleh pemimpin agama. Pada abad 19, kaum wanita ikut pula terjun dalam gerakan anti miras. Mereka cemas dengan akibat alkohol pada suami dan anak-anak mereka. Tidak jarang gerakan itu dilakukan dengan kekerasan. Carrie Amelia Nation adalah pimpinan kelompok wanita radikal anti alkohol terkenal pada zamannya. Wanita tinggi besar ini dengan kampak ditangan, menyerbu dan merusak bar dan salon penjual miras. Kelompok yang lain melobi pemerintah untuk mendesakkan pelaksanakan larangan itu. Akhirnya Amandemen ke18 itu diratifikasi dan larangan itu dikuat-kuasakan pada tingkat federal. Setiap minuman yang mengandung lebih dari 0,5 persen alkohol dilarang di AS.

Tetapi akibat yang tidak terduga dari larangan yang bercita-cita mulia itu belakangan menjadi bencana bagi Amerika. Menurut sasterawan Mark Twain larangan itu adalah awal kebiasaan baru mabuk di belakang pintu dan tempat gelap ... Larangan itu tidak menyembuhkan ataupun mengurangi kegemaran pada alkohol. Penyulingan alkohol dirumah-rumah dan penyelundupan serta merta berkembang bersamaan dengan dimulainya larangan itu. Toko-toko mulai menjual alat penyuling portabel. Miras selundupan membanjir dipasar gelap. Dokter mulai meresepkan alkohol untuk "tujuan pengobatan." Dengan menyuling sendiri orang menambahkan bumbu-bumbu dlm alkohol mereka dan yang sering menimbulkan keracunan. Dengan dilarang lebih banyak orang ingin mencoba. Orang yang tak pernah minum, sekarang bergabung dalam petualangan melanggar hukum. Bar berganti menjadi "speakeasies" (warung remang-remang), tempat minum yang tersamar. Penyelundupan minuman yang lebih keras meningkat dan bahaya kesehatan para peminumnya meningkat. Geng lokal yang berbisnis prostitusi, perjudian dan pemerasan berkembang menjadi sindikat kejahatan besar-besaran begitu memasuki bisnis miras ilegal. Keuntungan besar hasil kejahatan itu, sebagian mengalir ke kantong politisi dan aparat penegak hukum dalam bentuk suap atau pemerasan. Polisi jadi enggan bertindak. Selain itu, banyak politisi secara terbuka menentang larangan minuman keras itu.

Akhir 1920-an, banyak pendukung anti alkohol mengakui kesalahan mereka dan mulai minta untuk dicabut. Banyak pengakuan mengenai banyaknya efek larangan miras yang merugikan masyarakat, termasuk timbulnya kematian dan penyakit, kejahatan dan kekerasan. Tujuh juta orang menandatangani petisi mengecam larangan  miras dengan efek buruknya. Ketika terjadi depresi hebat tahun 1930an, lebih banyak lagi orang Amerika bergabung dalam protes terhadap larangan miras. Dikota-kota besar, orang berpawai membawa poster "We Want Beer" untuk menuntut dicabutnya larangan miras itu. Akhirnya, pada Desember 1933 Amandemen ke 21 diberlakukan, yang mengakhiri larangan terhadap minuman keras. Larangan terhadap minuman keras telah gagal.  Yang tertinggal sekarang hanya "dilarang mengemudi dalam keadaan mabuk.."

Sampai saat ini AS dikenal galak, bahkan menyokong negara lain menghadapi perang anti-narkoba. Tetapi dalam KTT nagara-negara Amerika di Cartagena Colombia April 2012, para pemimpin Amerika Latin menyatakan bahwa perang anti-narkoba telah gagal. Presiden Guatemala Otto Perez Molina yakin pendekatan baru sangat dibutuhkan. Sebagai mantan intelijen militer yang berhadapan langsung dengan kekuatan kartel narkoba, Molina mengajak sesama pemimpin Amerika Latin untuk mendukung rencana keamanan baru yang akan mengakhiri larangan terhadap narkoba. "Perang anti-narkoba saat ini didasarkan pada premis yang salah, yaitu keyakinan bahwa narkoba akan bisa diberantas." Pérez Molina mengakui bahwa membebaskan konsumsi, produksi dan perdagangan narkoba adalah tidak bertanggung jawab. Yang diperlukan adalah kebijaksanaan yang lebih liberal. Dia menegaskan, Larangan telah gagal dan cara alternatif harus ditemukan. Guatemala mengusulkan untuk tidak pandang ideologi dalam kebijakan obat terlarang, baik regulasi atau liberalisasi. Presiden Meksiko, Felipe Calderon, menyerukan debat nasional tentang pembebasan larangan itu. Juan Manuel Santos, presiden Kolombia, mengatakan bahwa jika legalisasi narkoba dapat menjinakkan kekuatan kartel, dan dunia menilainya sebagai solusi, dia akan menyambutnya...

Demikianlah setelah kalah dalam perang anti-alkohol kini saatnya nagara-negara Amerika Latin mengaku kalah dalam perang anti-narkoba. Mungkin kelak yang tinggal hanya "dilarang menyuntik di jalanan" saja, yang tidak mustahil akan merembet kenegeri kita. Nauzubillah

Cerita tentang Media tanpa Nilai, Ironi Global TV, dan Terpuruknyanya Pers Islam

Hari-hari ini kita makin disibukkan dengan beragam peristiwa. Umumnya semua peristiwa itu tak luput dari mata pers. Dari telinga jurnalis. Dari penciuman wartawan.

Media bergerak meliput dan mengejar kasus dan banyak peristiwa. Maka, kita pun, sebagai pemirsa dan pembaca juga bergerak menyimak berita, mendengar, melihat dan membaca.

Tak jarang kita bersungut. Apalagi jika melihat, mendengar dan membaca berita yang menyebal. Banyak cerita yang bikin panas kuping. Tak sedikit berita yang bikin dahi mengkerut.

Parahnya kebanyakan media lebih berpihak pada ucapan dan omongan batil. Membela yang jahil. Itu namanya media tanpa nilai. Saat ini siapa yang bisa menguasai dan mengendalikan media atau informasi, maka seakan dia itulah yang benar. Yang lain salah.

Sejatinya fungsi media (surat kabar/tabloid, majalah, radio, televisi, film) adalah memberi informasi, membentuk opini, mendidik dan menghibur. Menghibur pun tentu yang sehat. Menghibur bukan jualan seks, menampilkan pornografi dan pornoaksi, sebagaimana telah dilakoni sejumlah media. Banyak media tampil jorok, itu tentu bukan menghibur yang dimaksud.

Manakala sejumlah stasiun televisi mempertontonkan tayangan vulgar, mengumbar aurat dan ngomong jorok, itu namanya bukan menghibur, tapi merusak alias tidak mendidik.

Tatkala film nasional yang, katanya, sedang bangkit, kemudian menjual cerita, tema dan adegan-adegan murahan (ngeseks, hidup bebas/hedonis, perselingkuhan), itu jelas makin melengkapi “sakit”nya sebagian besar masyarakat kita.

Beberapa film Indonesia di bioskop yang berhasil menyedot penonton, sama sekali tidak mengandung dan mengusung nilai (positif). Film-film tersebut, sebagaimana kebanyakan sinetron, hanya menjual gaya hidup yang cenderung jadi pembenaran (justifikasi) kehidupan yang sesungguhnya abnormal, tapi melalui tayangan-tayangan tersebut, jadi sesuatu yang biasa (dianggap normal). Kebatilan yang sudah biasa dilakukan, berulang-ulang, akhirnya seolah dianggap sebagai “kebenaran”.

Itu belum lagi jenis film yang sengaja diproduksi untuk membentuk opini agar orang ragu terhadap Islam. Ingin membuat imej buruk tentang Islam.

Bangsa ini akan tetap terpuruk (berantakan) jika salah satu unsur terpenting, yakni medianya, tidak mencerdaskan, tidak mencerahkan. Fungsi mendidik (mencerdaskan dan mencerahkan) tidak diminati, lantaran media lebih memilih selera pasar yang tengah ‘sakit’.

Media tak lagi berperan sebagai pengarah, pengendali, pembentuk opini yang benar, tapi sebaliknya. Media telah dikendalikan oleh mesin bisnis, para investor, kaum beruang yang lebih melihat peluang pasar, ketimbang visi-misi menyelamatkan bangsa yang sedang rusak dan dirusak ini. Lebih parah lagi, media digunakan untuk menghantam Islam—secara halus ataupun vulgar.

Tuntutan pasar dan kepentingan menghantam Islam membuat banyak orang tambah nekat untuk membuat proyek apa saja yang menghasilkan (secara materi) tanpa memikirkan aspek lain, yakni keterpurukan moral dan akhlak yang telah membuat negeri ini berjalan tanpa kendali.

Sungguh menyedihkan membaca sebagian koran/tabloid, melihat televisi dan film-film bioskop yang sama sekali bebas dari nilai (yang benar). Yang diusung lebih pada nilai-nilai liberalisme. Tanggung jawab media, sebagai pengemban misi dan fungsi: memberi informasi yang benar, membentuk opini, mendidik/mencerdaskan dan menghibur dalam arti sebenarnya sudah banyak diabaikan.

Bill Kovach yang hidup di negara liberal saja, dalam  The Elements of Journalism, mengingatkan bahwa jurnalisme—yang merupakan bagian dari media—setidaknya memiliki kewajiban pertama mengusung kebenaran. Bicara kebenaran, Islam adalah al-Haq.

Sesungguhnya jalan hidup (way of life), yang benar dan diridhai Allah hanyalah Islam. Barang siapa yang mencari-cari jalan hidup selain Islam, ia tertolak!

Sajian media-media kita, terutama kebanyakan tabloid, tayangan televisi dan film-film di bioskop, bukan mendakwahkan yang benar. Pamer aurat dianggap mode, sedang seks bebas jadi gaya hidup. Film-film yang dipertontonkan sangat mendukung gaya hidup seperti tersebut.

Orang hidup serumah tanpa ikatan nikah dianggap normal. Pasangan lesbi dan gay, manakala keluarga, lingkungan dan teman-temannya tahu keadaan mereka sebenarnya, bukannya diselamatkan, malah disupport. Dianggap normal saja, no problem! Digambarkan, sang ibu, menerimanya tanpa usaha untuk menyelamatkan sang anak. Nrimo saja. Ayo, bagaimana masa depan negeri ini 5, 10, 20 tahun mendatang?

Film-film remaja tak kalah dahsyatnya. Semuanya mengarahkan remaja kita untuk hidup bebas, mewah, tanpa arah. Itu karena anggapan, nilai-nilai yang baik tak laku, tak menghasilkan duit. Media (film) sudah terjebak pada jalan pintas, malas memikirkan bagaimana cara membuat film yang bernilai dengan kemasan menarik. Kalaupun ada, itu tak banyak, bisa dihitung jari Karena tidak kreatif, malas, dibuatlah film seadanya. Sekenanya. Mana yang jadi tren hidup sekarang, itulah yang dijual, tanpa memikirkan lagi dampak jeleknya terhadap negeri yang tengah banyak dilanda masalah ini.

Jika semua pihak tak menyuguhkan program dan film-film berselera rendah, memangnya siapa yang protes? Jika kita menemukan sebagian besar rakyat sedang “sakit”, kalau kita dapatkan sebagian rakyat melakukan perbuatan  mungkar dan maksiat, hidup bebas tanpa kendali akhlak, mengapa dipublikasikan? Apabila sarana-sarana maksiat seperti diskotik, tempat-tempat judi dan pelacuran, marak dan berkembang, kenapa segala kejelekan itu kita tayangkan? Bukankah jadi iklan gratis, dan membuat para penonton yang juga punya kecenderungan ke sana  penasaran, terinspirasi, lalu ikut menceburkan diri ke gelanggang maksiat?

Tanpa kemauan dan itikad yang kuat dari pemerintah untuk membereskan sajian dan tayangan yang tidak mendidik ini, tak ada gunanya. Para dai, terutama di lingkungan media (cetak dan elektronik, termasuk film), punya tanggung jawab lebih besar terhadap kerusakan dan ketidakbecusan ini. Mereka harus mendorong pemerintah dan para wakil rakyat agar melahirkan UU tayangan yang mencerahkan lagi mencerdaskan bangsa. Jika tidak, siap-siap saja bangsa ini melahirkan generasi berikut yang lebih parah dari sebelumnya. Akhirnya, bangsa ini benar-benar akan jadi mainan dan dalam kendali bangsa-bangsa lain, lantaran generasi berikutnya bego-bego!

Ketika sebagian dari anak bangsa in tak jujur. Lain di mulut lain di hati. Dan, itu disupport oleh sebagian besar media. Sebut misalnya, dulu, ketika muncul pertarungan antara yang mendukung RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (APP—ketika menjadi UU namanya menjadi UU Pornografi-Pornoaksi, kata “Anti” hilang, pen) dengan yang menolak. Banyak media yang sinis terhadap kelompok masyarakat yang mayoritas menyatakan mendukung RUU APP.  Umumnya media justru mendukung kelompok kecil yang menentang RUU APP.

Masih berhubungan dengan contoh di atas, seorang presenter infotainmen wanita yang berpakaian minim (sebagian dadanya tampak) pada sebuah stasiun televisi, berceloteh dengan kebodohannya. Sang presenter mengomentari Aksi Sejuta Umat yang mendukung  RUU APP sehari sebelumnya.  “Di hari libur kemarin di Jakarta ada demo mendukung RUU APP. Ngapain ya, kurang kerjaan kali ya...,” kata si presenter itu. Ia melanjutkan, sambil memegang bagian tubuhnya yang terbuka, “Aduuh, saya jangan didemo ya...”

“Ngapain ya, kurang kerjaan kali ya,” ini jelas omongan asal bunyi yang berangkat dari kebodohan. Sama bodohnya ketika seseorang yang, katanya public figur (artis)—padahal apanya yang jadi figur untuk orang semacam ini—melakukan orasi saat demo menentang RUU APP di Bali. Orasi tidak nyambungnya itu antara lain, “Siang ini di Jakarta mendukung pengesahan RUU APP dengan alasan untuk meningkatkan martabat bangsa ini. Tetapi bobroknya bangsa ini bukan karena goyangan penyanyi dangdut tetapi karena koruptor. Jika RUU APP disahkan, penjara akan dipenuhi oleh seniman, ibu-ibu penjual jamu yang memakai kebaya, sementara koruptor bebas melenggang.”

Kita akan mudah mendapatkan kalimat tak bernalar pada pernyataan di atas. Omongan yang mengada-ada, indikasi orang panik dan sudah kehilangan bobot dalam berbicara. Memangnya para seniman kita ingin membuat karya pornografi? Memangnya dalam RUU APP kebaya dinyatakan sebagai pakaian yang mengandung pornoaksi? Memangnya kalau RUU APP menjadi UU, bangsa ini dipastikan tak bisa mengejar para koruptor?

Kita prihatin, orang-orang yang sering ngomong di televisi dan pernyataannya dimuat di koran, ternyata tak memiliki kapasitas intelektual. Tapi, tanya kenapa, sebagian besar media mengutip dan bahkan mendukung pernyataan tak berbobot mereka. Itu disebabkan banyak media  yang setali tiga uang dengan mereka, sebut misalnya dengan kelompok yang menolak RUU APP.

Ketika Aksi Sejuta Umat mendukung segera pengesahan RUU APP, digelar di Jakarta, harian umum Republika melaporkan jumlah massa sekitar 1 juta orang, sementara media cetak lain dan umumnya stasiun televisi menyebut angka ribuan orang. Itu jauh sekali. Angka ribuan bisa diasumsikan di bawah 10 ribu. Padahal kenyataannya dari laporan sejumlah jurnalis Muslim, tak berbeda dengan angka yang ditulis Republika, sekitar 1 juta.

Bayangkan, saat aksi berlangsung, ruas jalan tol dalam kota ditutup selama 2 jam. Iring-iringan massa dari Bundaran HI bergerak hingga Senayan, Gedung DPR, belum lagi massa yang meleber atau tumpah ruah ke ruas jalan lain. Tapi semua ini tak ditulis oleh kebanyakan media cetak, elektronik dan online yang mendukung segelintir aktris dan LSM yang menolak RUU APP. Sedang media infotainmen yang tayang di stasiun televisi, umumnya sinis. Mereka seakan menutup mata atau tak terima atas realitas. Itu lantaran mereka sama dengan sekelompok kecil orang yang takut bisnis amoralnya mati.

Ironi tentang pendemo yang jumlahnya puluhan minta FPI dibubarkan adalah cerita lain dari contoh nekatnya para pengusung kebatilan—lantaran merasa didukung media. Aneh aja, memang, jumlah pendemo 50-an orang—itu pun terdiri para bencong waria, orang-orang bertato dan tak jelas, selain ada sutradara liberal—tapi kesan yang dibangun unjuk rasa itu ‘wah’ dan berarti sekali untuk membubarkan FPI. Sekali lagi, karena didukung media. Padahal demo tandingan mendukung FPI dan menginginkan Indonesia tanpa Liberal lebih kurangnya berjumlah 10 ribu, tapi oleh media pendukung liberal seperti dianggap angin lalu.

Sekali lagi, sebagai bahan renungan kita, begitulah konsekuensinya jika media dikuasai dan dikendalikan pihak lain. Kita bisanya mengelus dada, mengernyitkan dahi, jengkel, dan seterusnya.

Sampai saat ini hasrat pengusaha dan pemodal Muslim yang bersungguh-sungguh menggarap media, masih belum tampak. Kalaupun ada beberapa di antaranya, tetap tak mau fokus untuk benar-benar menceburkan diri di bidang yang satu ini. Karena sudah dihantui oleh trauma dan ketakutan akan gagal, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah.

Padahal kalau kita berazzam dengan tekad sungguh-sungguh akan menciptakan SDM dan manajemen yang itqan (profesional), maka langkah untuk melahirkan kelompok atau holding company di bidang media yang memiliki izzah, prestise dan unggul, bukan hal yang mustahil.

Berhubung yang mustahil itu belum juga mewujud, maka setidaknya insan-insan pers Islam bersatu dulu. Bersama menyusun kekuatan. Membuat plan, rencana ke depan. Bersungguh-sungguh untuk menggarap bidang yang merupakan sarana amar ma’ruf nahi mungkar ini, sehingga Cahaya Allah menembus kepekatan (jahiliyah) yang mereka pertontonkan.

Ingatlah firman-Nya, “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (Din) Allah melalui mulut (pernyataan-pernyataan dan sarana) mereka, tapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai,” (QS. at-Taubah [9] : 32).

Dengan kesungguhan untuk membendung pengaruh dan bahaya opini mereka, mudah-mudahan Allah menjadikan  kita sebagai kaum pilihan yang berjuang di jalan-Nya melalui media.

Media Islam dan Ironi Global TV

Selama ini dikesankan pers Islam tak menguntungkan, susah mendapatkan iklan dan sulit menjaring pembaca. Kesan itu muncul, lantaran tak pernah terdengar suksesnya  bisnis media Islam di negeri ini. Ketika ada media Islam yang nyaris ‘sukses’ dari segi bisnis, eh ujung-ujungnya selalu dilanda konflik, manajemen tak beres, dan SDM yang diamanahkan mengelola adalah manusia yang jahil (tidak mengerti) dan ‘bahlul’.

Akhirnya, satu-satu media cetak Islam berguguran, terkubur, masuk kotak  atau terseok-seok. “Televisi Islam”? Jangan tanya itu dulu, karena sampai detik ini belum ada “konglomerat Muslim” yang tertarik, di samping kemampuan dana yang masih pas-pasan, sehingga hanya mampu bermain di TV lokal yang siarannya sangat terbatas.

Baiklah, kita fokus dulu ke media cetak. Dalam kurun Orde Baru, tercatat sejumlah media cetak Islam pernah terbit, kemudian tenggelam atau terseok-seok. Sebut misalnya, Majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Harmonis, Estafet, Panggilan Azan, Ummat, Harian Abadi, Harian Pelita, Adil, Tabloid SALAM dan Hikmah (dua terakhir terbit di Bandung). Mengapa sejumlah media cetak yang mengusung nama Islam itu tak dapat berkembang atau menghilang dari pasar? Sebab musababnya bervariasi. Tetapi setidaknya ada dua faktor penghambat kemajuan media/pers Islam. Dua hal ini merupakan tantangan yang harus disingkirkan, kalau memang kita ingin membangun pers Islam yang kuat.

Dua hal tersebut berkaitan dengan masalah eksternal dan internal. Faktor eksternal, harus diakui memang, bahwa pihak-pihak luar Islam tak rela jika kaum Muslimin menguasai dan mengendalikan media massa. Maka, pers Islam sulit mendapatkan peluang untuk berkembang, lantaran jaringan pasar dikuasai oleh mafia-mafia anti Islam. Tetapi yang terpokok dari itu adalah faktor internal, sehingga pers Islam di Indonesia sulit berkembang. Sebab yang pasti dari masalah internal itu bersumber dari ketidakjelasan Visi-Misi, segmentasi  dan manajemen (SDM) yang tidak kondusif (selain itu, di era Orde Baru peluang umat Islam untuk menerbitkan pers Islam terganjal oleh SIUPP). Padahal, kalau ditata dengan manajemen yang ihsan (baik) dan itqon (profesional), sesungguhnya media Islam sangat layak, baik dari segi gagasan maupun bisnis.

Benarkah bisnis pers Islam tak menguntungkan? Atau, dengan kata lain—lebih luas lagi—benarkah bisnis yang berbau Islam susah berkembangnya di republik ini? Marak dan pesatnya penerbitan buku-buku Islam di awal 1990-an sampai sekarang, menepis anggapan itu. Dominannya buku-buku Islam di setiap pameran besar dan ramainya pengunjung dalam pameran penerbitan Islam, membuktikan cerahnya bisnis Islam, termasuk pers Islam. Hal ini, dibuktikan lagi dengan semakin berkembangnya bisnis dengan semangat keislaman lainnya.

Tapi, lantaran buruknya manajemen atau media itu jatuh di tangan orang-orang yang tak menguasai dan punya kepentingan-kepentingan tertentu, maka media Islam yang semula tumbuh bagus, akhirnya tumbang juga. Seorang diplomat asing dari sebuah Negara yang anti Islam menyambut gembira terseok-seoknya sebuah media cetak yang semula dikenal “garang” menakutkan dan berkembang. Bagi sang diplomat, tak perlu repot-repot bagaimana caranya menggembosi media Islam itu, karena ternyata cukup dari orang dalamnya sendiri, maka media Islam yang dia maksud  dengan sendirinya akan terkubur.

Seiring dengan itu, kemunculan Ummi dan Annida (majalah Muslimah dan remaja Muslimah), dengan pasar yang jelas, mestinya mementahkan anggapan bahwa media Islam itu sulit berkembang. Ditambah lagi hasil survei ACNielsen, telah menempatkan Majalah Islam SABILI pada 5 besar dari segi keluasan pembacanya. Pada periode 2000-2001 SABILI berada di posisi 4, sedang periode 2001-2002 SABILI naik ke peringkat 3, 2002-2003 (SABILI tak diikutkan dalam survei, entah mengapa), 2003-2004 SABILI peringkat ke-2  terbanyak dibaca kaum laki-laki dan peringkat 3 secara keseluruhan.

Tapi kejayaan yang pernah diraih SABILI dan kawan-kawannya itu sekarang tinggal cerita. Masalah klasik yang sejak dulu merasuki media Islam berakibat kita belum mampu menghadirkan konglomerasi media yang disegani.

Dalam konteks bisnis pers Islam,  jika ingin sukses membangun konglomerasi—dalam arti tak hanya satu penerbitan—setidaknya ada beberapa aspek yang harus dimiliki. Pertama, Visi-Misi  (dengan komitmen dakwah yang tinggi dan keberpihakan terhadap Islam dan kaum Muslimin). Kedua, segmentasi yang jelas (dalam arti didukung basis pembaca yang luas dan segmented). Ketiga, modal yang cukup. Keempat, SDM yang andal. Kelima,  manajemen yang itqon, dalam arti amanah dan profesional. Keenam, sistem keagenan dengan jaringan khusus dan luas. Ketujuh, mendapat dukungan iklan.

Jika hal-hal di atas dapat kita kuasai, maka harapan  munculnya media Islam (group) yang kuat dan berwibawa,  bukan hal yang mustahil. Persoalannya sekarang, media Islam masih jauh dari aspek-aspek di atas. Umumnya media Islam masih terjebak keberpihakan pada golongan tertentu—sehingga membatasi segmen—dengan “manajemen warung”, dan  masih pula kurang didukung iklan.

Karena itu, tak banyak pers Islam yang mampu bertahan. Itu tadi, lantaran secara umum pers Islam tak dapat memenuhi persyaratannya sebagai pers Islam. Punya modal cukup saja tak bisa dijadikan ukuran bahwa media tersebut akan sukses, jika SDMnya payah, apalagi jauh dari nilai-nilai Islam.

Di tengah belum adanya group (konglomerasi) media yang mengusung Islam, namun banyak kaum Muslimin yang berharap munculnya televisi Islam. Harapan itu sesuatu yang sangat wajar, di tengah tayangan televisi banyak yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dipahami masyarakat Islam. Masalahnya, kita belum melihat ada konglomerat Muslim yang tertarik dengan media yang satu ini.

Di era Habibie memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), tahun 1990-an sejumlah cendekiawan dan pengusaha Muslim sempat merintis, namanya Global TV. Izin sudah di tangan.Tapi entah mengapa, Global TV yang muncul  urung mengusung nama Islam. Global TV saat itu justru tampil  full music dan kemudian bekerjasama dengan MTV. Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji”uun….

Melalui kolom ini, kita berharap lembaga-institusi, tokoh dan pengusaha Muslim, saling bersinergi untuk mengambil langkah nyata, segera melakukan action, merintis kembali televisi dengan warna Islam. Kita sadar, gerak apapun yang akan dilakukan, selalu ada yang memulai.

Karenanya, kita berharap ormas atau lembaga-lembaga resmi Islam seperti MUI memelopori untuk mengumpulkan sejumlah cendekiawan dan pengusaha Muslim, agar TV Islam yang lama diharap, dapat terwujud. Kalau kita sering kecewa dan mengritik tayangan-tayangan TV yang jauh dari nilai-nilai Islam, maka kita harus menghadirkan alternatif yang sesuai dengan harapan kita.

Ironi Global TV

Kasus Global TV terungkap melalui surat mantan Mensesneg Muladi bernomor  B-602/M.Setneg/9/1999 bertanggal 13 September 1999. Ironi Global TV punya arti sendiri bagi umat.

Ceritanya pada tahun 1990-an, ‘TV Islam’ pernah dirintis, bahkan telah mengantongi izin. Sayangnya, tak ada follow up yang baik. Peluang itu pun hilang.

Belasan tahun lalu, di era Orba, Departemen Penerangan, mengeluarkan izin beberapa stasiun televisi swasta, termasuk Global TV, yang diharapkan dapat menampilkan nuansa Islam. Harapan akan kehadiran ‘TV Islam’ pun kembali bersemi. Ini tak berlebihan, mengingat umat Islam di republik ini adalah mayoritas. Kita pun bergembira. Berharap Global TV menjadi penyeimbang atas  tayangan-tayangan yang selama ini kurang mendidik.

Lagi-lagi kita menelan pil pahit.  Harapan tinggallah harapan. Global TV versi Islam gagal tayang, karena persoalan klasik: dana. Lebih dari itu, tak adanya trust (kepercayaan) dari investor.

Mengapa investor tak berminat? Bukan hanya pendana dalam negeri yang enggan, investor dari Timur Tengah pun urung menanamkan dananya. Itu terjadi karena sulitnya membangun kepercayaan (trust building) berbanding lurus dengan susahnya mencari dana dari pihak-pihak yang berduit. Sayangnya, hal ini dari dulu hingga sekarang tak pernah disadari dan diperbaiki. Mengapa? Sebab, orang-orang yang memainkan ‘kartu’ adalah para petualang (avonturir) yang tak berpihak pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Susah mengharapkan tsiqah (kepercayaan) dari orang-orang yang reputasinya tentang keumatan dan keberpihakannya pada Islam tak pernah teruji.

Umat ini mempertanyakan keseriusan dan tanggung jawab para tokoh yang dulu pernah mengantongi izin Global TV. Di bawah bendera The International Islamic Forum for Science Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR), Global TV sejak awal dimaksudkan  sebagai televisi dengan syiar Islam, selain pendidikan, teknologi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Jika kemudian Global TV menayangkan program yang tak sesuai dengan Visi-Misi semula, maka para tokoh yang membidani televisi tersebut harus menjelaskannya pada umat, mengapa hal itu sampai terjadi? Apa kendalanya, sehingga dana untuk sebuah televisi yang bernuansa Islam—yang sesungguhnya jadi dambaan kita semua—tak mengucur? Mengapa saat itu tak ada transparansi kepada publik (umat), agar persoalan dana dapat diselesaikan oleh umat Islam sendiri?

Beberapa tahun lalu muncul gugatan  terhadap isi siaran dan alih kepemilikan izin Global TV. Atas gugatan itu manajemen Global TV menyampaikan klarifikasi. Klarifikasi itu menegaskan bahwa tak ada pengalihan kepemilikan izin Global TV, maupun perubahan isi siaran.

Padahal dalam konteks ini, adalah sesuatu yang sudah kerap terjadi di republik ini: “jual-beli” izin. Di era Orde Baru, bukan rahasia lagi, yang namanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) diperjualbelikan. Caranya, sang pembeli (investor baru) masuk ke perusahaan penerbitan pers tersebut lalu mengucurkan dana. Kepemilikan saham pun berubah.

Karena ada peraturan yang sangat ketat, tak mudah mengganti pemimpin umum, pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi, maka ketentuan ini pun diakali. Biasanya nama-nama lama masih dipajang, meski realitanya sudah tak aktif lagi. Nama-nama pengelola baru pun dicantumkan dengan sebutan, misalnya, “pemimpin pelaksana redaksi” (untuk pemred), “pemimpin harian perusahaan” (untuk pemimpin perusahaan), dan sejenisnya.

Dalam kasus Global TV, memang betul, izin prinsipnya pun tak berubah, masih tetap PT Global Informasi Bermutu (GIB). Tapi, orang-orangnya berubah, kepemilikan sahamnya pun berganti. Meski namanya bukan “jual-beli”, tapi dengan berubahnya kepemilikan saham, apa lagi istilah yang tepat untuk kasus ini?

Waktu itu anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho Sekundatmo menyebut kasus perpindahan kepemilikan saham PT Global Indonesia Bermutu atas Global TV sebagai penyiasatan hukum. Menurutnya, transaksi ini harus diselidiki, apakah saat Bimantara membeli 70% saham  GIB waktu itu ada nilai asetnya. Jika tak ada asetnya, berarti sama dengan jual beli izin.

“Ini penyiasatan hukum. Ini namanya membeli tali dapat kerbau, karena sebenarnya yang diincar kerbau. Tapi karena kerbau tidak bisa dipindahtangankan, maka yang dibeli tali. Dicari, bagaimana caranya agar kerbau bisa dibawa,” kata Bimo kala itu. Ia melanjutkan, jika nilai aset terbesar adalah frekuensi, sementara aset lain tak ada nilainya, maka UU Telekomunikasi harus ditegakkan. “Ini namanya telah terjadi penyelundupan hukum yang mengakibatkan pindah tangannya frekuensi,” ujarnya.

Apapun ceritanya, mestinya saat itu “akal-akalan” ini harus diusut dan dipertanggungjawabkan ke hadapan publik. Apalagi melihat dampaknya, dimana dengan mudah harapan Global TV sebagai televisi Islam pupus bahkan berganti menjadi siaran yang jauh dari nilai-nilai Islam. Lucunya, Departemen Komunikasi dan Informasi (Kominfo) seperti berkelit. Usulan pencabutan terhadap izin Global TV—karena dinilai disalahgunakan—menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo Gde Widyatnyana Merati saat itu, harus melalui putusan pengadilan. Padahal, tinggal diusut. Jika benar tayangannya selama ini menyalahi izin semula, semestinya tinggal dicabut. Apa susahnya.

Jika ada penyimpangan dalam pemberian izin frekuensi Global TV, menurut Ade Armando dari KPI, maka frekuensi tersebut harus dikembalikan pada negara. Lalu negara menawarkannya kembali pada publik. Dalam hal ini, kita berharap, izin prinsip dan frekuensi Global TV, dikembalikan kepada umat Islam. Karena, sejatinya ia adalah milik dan aset umat yang pernah diusung melalui IIFTIHAR.

Kaum Muslimin harus menjadikan pelajaran pahit ini tidak terulang lagi. Kesungguhan dan tanggung jawab terhadap umat dalam menghadirkan TV Islam semestinya tidak dimainkan apalagi hanya untuk kepentingan sesaat.

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjihad) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-Ankabuut: 69).

Salman Salmon

Sumber: http://salam-online.com/2012/06/cerita-tentang-media-tanpa-nilai-ironi-global-tv-dan-terkuburnya-pers-islam.html