Presiden, Gubernur, Bupati, anggota Dewan atau pejabat apapun hari ini, mau minta tambah gaji?
Boleh kok....
Di masa keemasan Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu pernah minta tambah gajinya sebagai khalifah. Ehm.....
Sebelum membahas hal ini, mari kita simak hadits Nabi shalallahu’alaihi wassallam yang resmi memberikan fasilitas bagi para pejabat publik:
“Siapa yang menjadi pejabat kami, maka milikilah istri jika belum punya istri. Jika belum punya pembantu, maka milikilah pembantu. Jika belum punya tempat/rumah, maka milikilah tempat/rumah. Abu Bakar berkata: Aku diberitahu bahwa Nabi bersabda, “Siapa yang mengambil selain itu maka dia adalah pencuri.” (HR. Abu Dawud no. 2945, dishahihkan oleh al-Albani)
Jadi, siapapun Anda sebagai pejabat publik, telah difasilitasi langsung oleh Nabi shalallahu’alaihi wassallam. Luar biasa bukan. Amanah besar seorang pejabat diiringi dengan fasilitas. Sah! Untuk mengambilnya. Halal! Untuk menikmatinya. Pasangan hidup, staf, tempat tinggal.
Nah, sekarang mari kita lihat kisah shahabat paling mulia itu minta tambahan gaji dengan posisinya sebagai orang nomer satu di pemerintahan Islam. Kisahnya ditulis oleh pakar sejarah Islam Prof. DR. Akram Dhiya’ al-‘Umari dalam bukunya: (‘Ashr al-Khilafah al-Rasyidah h. 228-230). Inilah kalimat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang memakai bahasa langsung dan jelas:
“Tambahi untukku (gajiku) karena aku punya keluarga. Kalian telah menyibukkan aku dari bisnisku.”
Akram Dhiya’ menyebutkan gaji awal Abu Bakar adalah 2000 Dirham setiap tahun. Kemudian setelah beliau meminta tambahan, ditambahi menjadi 2500 Dirham per tahun.
2000 Dirham adalah jumlah gaji yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Dan dengan tanpa malu dan basa-basi, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta tambahan. Dalam riwayat yang diambil oleh DR. Ali ash-Shalaby (Abu Bakar ash-Shiddiq, h. 109, MW), Abu Bakar berkata kepada Umar sebagai menteri keadilan/hukum,
“Aku tidak butuh dengan jabatanku memimpin kalian. Kalian memberiku gaji yang tidak cukup untukku dan keluargaku.”
Di samping gaji tersebut, masih ada fasilitas 1 kambing per hari plus sedikit lemak dan susu. Kambing digunakan untuk jamuan para tamu yang datang. Dan keluarga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berhak mendapatkan kepala dan kaki kambing tersebut.
Ternyata yang pernah minta tambahan gaji, bukan hanya Abu Bakar sang Khalifah. Para pejabatnya di daerah juga meminta tambahan gaji:
“Tambahilah gaji kami, kalau tidak angkatlah orang lain untuk jabatan ini!”
Untuk melengkapi cara pandang kita, ada hal yang harus diketahui lagi. Yaitu: masyarakat mendapatkan tunjangan tahunan. Inilah konsep Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat memimpin negara yang saat itu belum mempunyai banyak kekayaan negara:
“Sesungguhnya hidup ini, keteladanan lebih baik daripada mementingkan diri sendiri.”
Subhanallah...!
Besaran tunjangan di tahun pertama adalah 10 Dirham/tahun. Pada tahun kedua seiring masukan negara yang semakin besar maka masyarakat mendapatkan 20 Dirham/tahun. Tunjangan ini diperuntukkan bagi semua orang; laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, orang merdeka ataupun budak. Jadi, kalau di dalam rumah tangga kecil ada ayah, ibu dan 3 anak, maka keluarga itu akan mendapatkan 100 dirham/tahun. Para pejabat Abu Bakar pun menerapkan konsep ini di wilayah masing-masing.
Dengan konsep ini, maka gaji Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu 200 kali lipat dari tunjangan satu orang dari masyarakatnya. Perlu diingat ulang, 200 kali lipat dari tunjangan, bukan dari penghasilan masyarakat. Karena, tunjangan tersebut di luar penghasilan masyarakat. Jadi, perbandingannya adalah: Pejabat mendapat gaji ‘besar’ karena tidak bisa mencari nafkah, sementara masyarakat jauh lebih kecil karena sifatnya tambahan bagi tambahan nafkah mereka.
Melihat sebuah kisah dengan utuh seperti di atas sangat bermanfaat agar cara kita mengambil pelajaran tidak bopeng. Dari kalimat tersebut di atas dan dari proses jabatan yang diamanahkan kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berikut pejabatnya berikut tunjangan bagi masyarakatnya, kita bisa memandang permintaan tambahan gaji dengan sudut pandang berikut:
- Mereka semua dipaksa menjadi pemimpin, bukan keinginan mereka apalagi ambisi dengan mengkampanyekan dirinya. Kalau saja mereka bisa memilih, maka mereka lebih memilih menjadi pengusaha umpamanya, seperti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Sehingga tidak ada yang membatasi keuangannya. Tetapi ketika telah memilih, maka seharusnya semua paham bahwa setiap pilihan ada resikonya.
- Mereka terpaksa memberhentikan semua aktifitas mencari nafkah dan hanya mendapat gaji dari menjadi pejabat. Kalau yang mendapatkan banyak proyek justru setelah menjabat, nah....
- Gaji yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan mereka dan keluarga. Jika gaji telah memenuhi atau bahkan tidak terpakai, bagaimana nih...
- Masyarakat tetap nomer satu. Mendahulukan masyarakatnya, bukan dirinya. Dalam bahasa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu: menjadi teladan, bukan egois.
Jika itu di zaman Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, maka inilah Umar radhiyallahu ‘anhu sang Amirul Mukminin. Umar telah mengetahui fasilitas yang berasal langsung dari Nabi shalallahu’alaihi wassallam bagi para pejabat. Umar juga telah menyaksikan langsung bagaimana Abu Bakar meminta tambahan gajinya.
Umar radhiallahu ‘anhu menyampaikan konsep penggajian bagi dirinya sebagai pemimpin tertinggi:
“Saya memposisikan diri saya terhadap harta Allah (harta negara), seperti menghadapi harta anak yatim. Siapa yang kaya, maka hendaklah menjaga dirinya. Siapa yang miskin, maka boleh memakannya dengan cara baik.” (ashr al-Khilafah al-Rasyidah, h. 238)
Dan inilah detail yang diambil Umar dari negara h. 237-238:
“Saya menyampaikan kepada kalian semua, harta Allah yang saya ambil: pakaian di musim dingin dan musim panas, kendaraan yang saya pakai untuk haji dan umroh, konsumsi bagi keluarga saya seukuran masyarakat Quraisy; bukan yang kaya dan bukan yang miskin. Saya hanya seorang laki-laki dari masyarakat muslimin, apa yang menimpa mereka pun menimpa saya.”
Umar radhiallahu ‘anhu juga berani mempersaksikan dirinya di hadapan Allah subhanahu wata’ala:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidak makan kecuali makanan saya, tidak memakai kecuali pakaian saya dan tidak mengambil kecuali bagian saya.”
Sementara untuk masyarakatnya, Umar melanjutkan konsep tunjangan Abu Bakar dengan beberapa perbaikan. Di antara perbaikan itu adalah jumlah besaran tunjangan yang diberikan, menjadi jauh lebih besar seiring dengan negara yang semakin kaya:
- Tunjangan uang tahunan berdasarkan strata yang dibuat oleh Umar. Yang paling tinggi: 12.000 Dirham bagi istri Nabi yang masih hidup dan yang paling rendah adalah 100 Dirham bagi bayi yang baru lahir
- Tunjangan barang, bisa berupa pakaian, makanan dan sebagainya
Hal menarik yang perlu dicatat dari sikap empati Umar radhiyallahu ‘anhu saat masyarakat sulit adalah pada peristiwa ‘am Ramadah (tahun kelaparan) yang menimpa Hijaz (Mekah dan Madinah, bukan seluruh negeri) di akhir 17H. Umar sebagai Khalifah tidak mau mengkonsumsi lemak dan His (makanan dari adonan kurma dicampur lemak dan lainnya) karena harganya mencapai 40 Dirham. Umar juga tidak mau meminum susu pada masa itu. Dan hanya mau mengkonsumsi minyak dan gandum saja. Sebagai upaya menghibur masyarakatnya.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Perut Umar bunyi (karena lapar) karena hanya makan minyak pada ‘am ramadhah, sementara dia tidak mau makan lemak. Maka dia menusuk perutnya dengan menggunakan jarinya dan berkata:
Tidak ada yang kami miliki selain ini, hingga manusia hidup kembali. (Tarikh al-Khulafa’ h. 116, MS)
Ibnu Sa’ad meriwayatkan kisah Aslam yang bercerita,
Pada ‘am ramadhah, ada unta disembelih. Maka Umar membagikannya bagi masyarakat. Mereka menyisihkan daging yang bagus dari punuk unta dan hati untuk Umar. Saat Umar melihat, dia bertanya: Dari mana ini? Mereka menjawab: Wahai Amirul Mukminin, itu dari unta yang hari ini kita sembelih. Umar berkata: Buruk sekali saya sebagai pemimpin jika saya makan daging yang bagus sementara saya memberi masyarakat yang tidak bagus. Angkat piring ini, berikan kami makanan selain ini!
Saat seperti itu empati sang pemimpin tertinggi, ternyata diikuti oleh para pejabat di bawahnya.
Dari Ibn as-Sa’idi berkata: aku diangkat Umar sebagai salah seorang pejabatnya mengurusi zakat. Ketika tugasku selesai, Umar memberiku upah. Aku pun berkata: Aku bekerja karena Allah. Umar menjawab: Aku pernah juga bekerja di masa Rasulullah dan beliau pun menggajiku. (HR. Abu Dawud no 1453, dishahihkan al-Albani)
Konsep penggajian pejabat para pemimpin di atas sangat menarik untuk menjadi inspirasi penggajian pejabat hari ini.
Jadi pak pemimpin, masih ada yang mau minta naik gaji?
Nice share :)
ReplyDeletesemoga berkah dan manfaat...
ReplyDelete