Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Inilah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Sahabat nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini suatu ketika bertutur, “Tidak ada satu orang pun yang lebih para sahabat cintai daripada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui ketidaksukaan beliau terhadap hal itu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Adab dan dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih gharib dari jalur ini.”).
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyukai manusia berdiri memberi penghormatan kepadanya, hendaknya mengambil tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud & At-Tirmidzi).
Di zaman kita sekarang, di negeri tempat kita berpijak ini (baca: Indonesia), sulit membayangkan ada seorang pemimpin yang kuat pengaruhnya, besar wibawanya, ditaati perintahnya dengan ringan hati dan dinanti tutur katanya, sementara mereka tidak membangun budaya penghormatan yang kuat. Aparat negara hingga pimpinan sekolah banyak yang justru secara sengaja menciptakan budaya penghormatan demi terbentuknya apa yang diangankan sebagai karakter dan patriotisme. Hari ini anak-anak kita dididik untuk berdiri menghormat kepada orang-orang yang disebut pemimpin, kepada inspektur upacara bendera dan bahkan kepada kepala desa yang datang menghadiri sebuah perhelatan. Tetapi hari ini kita melihat, tak ada ketaatan —apalagi kecintaan— yang tumbuh dengan kuat dalam diri anak-anak kita kepada para pemimpin.
Lalu apa yang melahirkan kecintaan besar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Kita bisa menjawab keteladanan. Tetapi keteladanan seperti apa yang melahirkan kecintaan begitu besar dan ketaatan yang sedemikian kuat?
Mari kita simak firman Allah Ta’ala berikut ini:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas-kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9] : 128).
Apa yang bisa kita petik dari pribadi Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Bukan sekedar manusia yang memiliki budi pekerti luhur. Pada dirinya ada kecintaan dan empati yang luar biasa, sedemikian besarnya kecintaan itu sehingga penderitaan kita adalah penderitaannya. Ia turut merasakan penderitaan kita yang banyak di antaranya bahkan kita tidak menganggapnya sebagai penderitaan disebabkan oleh tidak adanya ilmu pada diri kita tentang akibat dari tindakan kita hari ini.
Ada keinginan yang sangat kuat untuk mengantarkan kita pada keselamatan, dan tidak ada keselamatan tanpa iman. Dan tidak bernilai iman kita jika tidak berpijak pada aqidah yang lurus dan agama yang benar sehingga tidaklah kita berserah diri kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Amat besar keinginannya agar kita meraih keselamatan dan kemuliaan, bahkan meskipun untuk itu ia dimusuhi dan disakiti. Ia melakukan semua itu bukan untuk meraih dunia –yang ia tidak perlu berlelah-lelah untuk meraihnya, andaikata ia menghendaki. Ia juga bukan mengejar kekuasaan dan mahkota. Tetapi ia berbuat dengan tulus, melayani, penuh kecintaan, berjuang dengan sungguh-sungguh demi membaguskan kita. Bukan meninggikan kedudukannya. Dan justru karena itulah, kita merasakan keagungannya. Dunia mengakui kemuliaannya. Bahkan Allah Ta’ala dan para malaikat pun bershalawat untuknya.
Terasa betul betapa berbedanya dengan apa yang kita jumpai hari ini. Atas nama dakwah dan muru’ah (kehormatan), banyak orang yang berburu gelar ustadz dan menyandangi dirinya dengan berbagai kemewahan. Kenapa? Karena ada persangkaan bahwa dengan itu kita akan dihormati, dengan kekayaan itu kita dimuliakan dan nasehatnya didengar. Tetapi tidak. Mereka berceramah, manusia tertawa dan mengelu-elukan, sesudah itu tak ada lagi yang berbekas.
Jika agama hanya menjadi penghibur jiwa, maka sulit membayangkan terjadi perubahan mendasar pada mereka yang mendengar dan belajar. Jika para penyeru agama telah silau hatinya kepada kedudukan, gelar yang berderet, sebutan yang terucap, maka nyaris tak mungkin rasanya budaya karakter akan tumbuh. Kebanggaan pada sebutan, simbol dan yang semacamnya lahir dari budaya prestasi dimana prestise lebih berharga daripada keringat dan kesungguhan. Sementara budaya karakter menyibukkan diri dengan sikap, usaha dan perjuangan, kejujuran, pelayanan kepada orang lain, ketulusan dan yang serupa dengan itu. Tatkala karakter yang menjadi kegelisahan utama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul sebagai akibat. Bukan tujuan. Sehingga tak berharga sebuah prestasi, yang paling memukau sekalipun, jika diraih dengan menciderai keyakinan, keimanan dan kejujuran.
Khusus mengenai budaya prestasi dan budaya karakter, saya berharap dapat membahas lebih lanjut pada lain kesempatan. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk kembali melihat betapa berbedanya antara apa yang kita sebut sebagai pendidikan karakter dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sehingga melahirkan manusia-manusia dengan karakter mulia yang luar biasa.
Sesungguhnya, tidaklah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam diutus kecuali untuk membentuk akhlak mulia (akhlaqul kariimah). Tetapi mari kita periksa perjalanan sejarah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Apakah yang beliau lakukan di awal-awal masa kenabian? Apakah beliau melakukan serangkaian pembiasaan berkait dengan budi pekerti? Sepanjang yang saya pahami, bukan itu yang dilakukan oleh Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Masa-masa awal dakwah, titik tekan utamanya adalah pada penanaman keyakinan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan tidak mempersekutukan-Nya, membangun aqidah yang lurus, menempa mereka untuk memiliki ketundukan yang total kepada Allah Ta’ala melalui qiyamul-lail yang panjang dan menafikan sesembahan selain Allah Ta’ala. Ketika itu, jilbab belum diperintahkan, minum khamr belum dicegah dan banyak hal lainnya yang masih dibiarkan.
Ini memberi pelajaran berharga bagi kita. Kelak kita tahu dalam sejarah betapa tinggi kemuliaan akhlak para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, tabi’in, tabi’it tabi’in maupun para salafush-shalih. Tetapi kemuliaan akhlak itu bukan semata-mata akibat dari pembiasaan, melainkan tumbuh di atas keyakinan yang kuat dan keimanan yang benar.
Sangat berbeda kebiasaan yang muncul semata-mata sebagai hasil pembiasaan dengan kebiasaan yang lahir dari keyakinan yang kuat. Yang pertama akan mudah luntur oleh situasi, sedangkan yang kedua cenderung mewarnai dan membawa pengaruh tatkala kita berada pada lingkungan yang sangat berbeda.
Serupa dengan itu, sangat berbeda kaya sebagai tujuan dan kaya sebagai akibat. Berbeda juga kaya sebagai jalan. Kita kerahkan seluruh kemampuan untuk mengejar kekayaan, lalu menyiapkan sejumlah kemuliaan sebagai alasan. Bahwa jika kaya, kita mampu beramal, meniru para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan alasan lain yang serupa. Tetapi tatkala kaya sebagai jalan, kita sangat berkeinginan untuk melakukan amal mulia dan untuk itu kita siapkan bekal. Kerinduannya terletak pada amal. Bukan kekayaan.
Jika dunia yang menjadi tujuan, maka dien akan menjadi alat. Jika kaya yang menjadi impian, maka Surga yang menjadi agunan. Jika menolong agama Allah yang menjadi kegelisahan dan tekad kuat kita, maka kita akan siap berletih-letih untuk berjuang, termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar dapat mengongkosi perjuangan dan dakwah kita fiLlah, liLlah, ilaLlah.
Nah. Semoga ada yang bisa kita renungkan.*
Mohammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku parenting dan motivator pendidikan.
Twitter: @kupinang
Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/20219/14/12/2011/tak-ada-pendidikan-karakter-tanpa-budaya-karakter.html