BIAR ALLAH SAJA YANG MEMBALASNYA?
Oleh: Jum'an
Sebagai umat Islam saya yakin akan ke-mahakuasa-an Allah dan Dia melihat perbuatan kita sehari-hari. Dan Dia menghendaki kita untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, amar ma'ruf nahi mungkar. Dalam kehidupan sehar-hari bila merasa dizalimi oleh orang lain, kita sering berkata "Biar saja! Nanti kan Allah yang akan membalasnya" sebagai pertanda iman kita kepada Nya. Kadang-kadang kita menghukum anak-anak atas kesalahan mereka; juga sebagai bukti iman serta amar ma'ruf dan nahi mungkar kita. Tetapi benarkah itu merupakan manifestasi iman? Ataukah kata-kata "biar nanti Allah yang akan membalasnya" merupakan dalih atas ke tidakmampuan kita untuk meluruskan kesalahan orang lain? Dan menghukum anak kita lakukan hanya karena mudah; sebab anak ada dibawah kekuasaan kita dan tidak akan berani melawan bila kita hukum. Dengan kata lain dalam keimanan, manusia masih mengincar peluang untuk mengelak. Urusan yang mudah, bolehlah kita yang melaksanakan tetapi urusan yang sulit kita tunggu biar Allah saja yang menyelesaikannya.
Mencegah dan menghukum orang yang bersalah tidaklah mudah dan murah tetapi memerlukan pengorbanan dan biaya. Bila seorang teman kita melecehkan teman kita yang lain, sebagai sahabat seharusnya kita menghentikan atau menjauhi si pengganggu tadi. Tetapi risikonya, persahabatan kita rusak atau ia balik melecehkan kita. Bila kita sebagai konsumen ingin menghukum produsen yang curang, kita harus membeli dari produsen lain, yang harus kita teliti lebih dulu dan serba merepotkan. Mengadili dan memenjarakan orang yang bersalah juga tidak murah. Apalagi bila dihitung untuk satu Negara. Jadi mengamalkan iman itu ber-risiko dan membutuhkan biaya. Kesanggupan untuk menanggung risiko dan memikul biaya akan membuktikan iman seseorang itu "berisi" atau sekedar kerangka saja.
Dalam situs harian Huffington Post baru-baru ini dimuat hasil penelitian Kristin Laurin dari Universitas Waterloo Kanada tentang seberapa jauh seseorang bersedia mengeluarkan uang tunai untuk suatu kesempatan menghukum orang yang bersalah. Penelitian menyimpulkan bahwa orang yang percaya adanya Tuhan yang maha kuasa dan maha melihat (singkatnya orang yang beriman, dalam kasus penelitian ini nasrani) ketika mereka diingatkan akan keyakinannya itu, mereka cenderung untuk tidak menghukum orang yang bersalah. Seolah-olah bahwa menghukum orang yang bersalah adalah tanggung jawab Tuhan yang maha kuasa, bukan tanggung jawab manusia.
Namun, para peneliti juga menemukan bahwa keyakinan agama pada umumnya membuat orang lebih menginginkan agar para pelanggar hukum diadili dan dihukum untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan penipuan. Tetapi kemudian kepercayaan terhadap Tuhan yang maha kuasa dan maha pengampun dianggap sebagai peluang untuk secara perorangan melepaskan tanggung jawab, dan memilih untuk tidak memikul biaya dan menaggung risiko.
Menghukum orang yang bersalah adalah hasrat manusiawi. Bahkan menurut penelitian, bayi yang berusia 8 bulan lebih suka melihat yang salah untuk dihukum.
No comments:
Post a Comment