KETAKUTAN MATI PARA DOKTER
Oleh: Jum'an
Kullunafsin dzaaiqatul maut; semua orang akan merasakan mati. Sejak kecil ayat 185 Ali Imran itu sudah bersarang dikepala saya. Sebagai anak SD, kalimat itu saya rasakan sebagai sebuah ancaman dan bukan kalimat berita. Bukan hanya artinya, bunyinyapun bila diucapkan dengan aksen santri, kedengaran magis dan menyeramkan. Dalam pikiran anak-anak, mati artinya terbujur kaku, dibungkus kafan, diikat atas-bawah, dipendam dalam tanah tak bisa bernafas dan sendirian! Menakutkan sekali. Untung selalu ada teman yang tiba-tiba mengajak bermain atau harus segera berangkat kesekolah sehingga ketakutan itu lenyap dalam sekejap, berganti dengan keceriaan. Semakin besar, dewasa dan tua ketakutan itu tetap ada hanya berubah kadar dan pengertiannya. Saya tidak lagi takut dipendam tanpa bernafas, tetapi takut sekarat dan menghadapi pengadilan dengan standar pernilaian Tuhan, bukan standar kita. Padahal saya banyak dosa. Padahal sesakit apa hukuman menipu teman saja, saya belum tahu. Padahal amalan sehalus debupun akan dibalas juga. Api neraka. Siapa yang tidak takut.
Ketakutan pada kematian adalah universal, karena semua tahu akan mati dan semua tidak bisa mengelak dan semua tidak tahu bagaimana nasib mereka sesudah itu. Kebanyakan orang tidak suka dan mengelak untuk membicarakan soal kematian, meskipun sebenarnya mereka selalu memikirkannya. Penelitian sebuah tim psikiater di Missouri menyimpulkan bahwa orang Amerika dari semua usia berfikir tentang kematian dan sesudahnya empat kali lebih daripada fikiran mereka tentang seks dan asmara. Demikian pula jajak pendapat terhadap 3.000 remaja Jerman Barat mengungkapkan bahwa pertanyaan nomor satu di benak mereka adalah kekhawatiran tentang kehidupan sesudah mati. Persoalan sosial dan politik, yang oleh penyelenggara survei diperkirakan menempati posisi paling atas justru kurang menarik perhatian mereka.
Dr. Ira Byock, dokter ahli dan tokoh perawatan paliatif dari Hanover, menggambarkan pola pikir orang Amerika tentang kematian sebagai “aib nasional” (national disgrace). Mereka enggan berbicara tentang mati. Budaya Amerika cenderung menghindari percakapan serius tentang kematian. Meskipun mereka dengan lantang memperdebatkan legalitas aborsi, hukuman mati, hak bunuh diri (euthanasia) dan penggunaan kontrasepsi tapi bila saatnya diajak membahas tentang kematian mereka sendiri, mereka berlagak bodoh seperti burung unta yang membenamkan kepalanya kedalam pasir.
Diantara yang paling sering menyaksikan dan berurusan dengan kematian adalah para dokter. Karena kondisi yang khas itu para dokter tentu menyikapi kematian mereka sendiri dengan cara yang berbeda dibanding kita-kita yang bukan dokter. Mereka tahu semua tentang perawatan yang sia-sia seperti penggunaan kemoterapi yang berkepanjangan dan penggunaan obat yang gagal untuk meningkatkan kualitas hidup. Kebanyakan pasien atau keluarga pasien selalu menuntut perawatan yang berlebihan. Kalau masih bisa memperpanjang hidup, obati terus, rawat terus apapun kondisinya. Mungkin dokter sebagai profesional medis yang berpengetahuan, menginginkan perawatan yang lebih dari yang bukan dokter. Mereka punya akses dan pendidikan tentang terapi terbaru dan terbaik. Tetapi anehnya dokter tidak ingin mati seperti masyarakat umum - mereka memilih perawatan secukupnya saja; setidaknya begitu pengakuan R.C. Senelick, M.D. Neurolog dan International Speaker dalam "Why Dying Is Different for Doctors". Mereka terbiasa melihat kamar ICU dipenuhi terlalu banyak pasien tua yang mereka anggap tak ada harapan lagi. Mereka kenyang melihat efek samping pengobatan yang mengerikan yang lebih buruk daripada kematian. Kebanyakan dokter tidak menginginkan tindakan heroik bila mereka mengalami hal yang sama. Jika mereka atau keluarganya dihadapkan dengan penyakit terminal yang mengerikan dan tidak ada pilihan yang masuk akal, mereka sepakat untuk membatasi intervensi dan menghindari langkah-langkah luar biasa untuk memperpanjang hidup. Begitu hasil sebuah jajak pendapat.
Tepapi tidak semua dokter sama sikapnya. Penelitian “Fear of Personal Death Among Physicians” menunjukkan bahwa para psikiater, yang paling jarang berhadapan dengan kematian ternyata paling cemas menghadapi kematian mereka sendiri, diikuti oleh internis (lumayan cemas) dan kemudian ahli bedah yang memiliki eksposur terbesar melihat kematian (paling tak cemas). Sesuai dengan dugaan, para dokter tua lebih kurang cemas menghadapi kematian ketimbang rekan mereka yang lebih muda. Dokter yang religius terbukti lebih cemas menghadapi mati dibanding dokter yang tidak religious (penelitian terbatas, di Israel). Mereka lebih takut terhadap hukuman setelah mati. Suatu penemuan yang menarik. Walhasil secara kelompok, dokter menghadapi keputusan-keputusan mengenai kematian mereka lebih terbuka dan dengan mudah menjelaskan kepada keluarga dan rekan-rekannya apa yang mereka ingin lakukan dan tidak ingin dilakukan jika mereka menderita sakit parah atau memiliki sedikit kesempatan kelangsungan hidup yang berkualitas. Wallohu a’lam
No comments:
Post a Comment