Sebuah Renungan Tentang Urgensi Akidah

Suatu hari, sebelum diharamkannya khamr, beberapa sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam berkumpul di sebuah kebun untuk minum khamr bersama. Di tengah keasyikan mereka itu, tiba-tiba datanglah utusan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan!”. Serta merta mereka pun menghentikan aktivitasnya. Bahkan khamr yang tersisa di mulut yang hanya tinggal ditelan, mereka muntahkan pula. Gentong-gentong khamr yang masih tersisa di rumah para sahabat pun ditumpahkan, hingga lorong-lorong kota Madinah becek dengan khamr.

Subhanallah! Bentuk kepatuhan luar biasa terhadap aturan agama.

Empat belas abad lalu, di suatu siang, salah seorang sahabat; Mâ’iz bin Mâlik radhiyallahu’anhu datang menemui Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah sucikanlah aku!”.

“Celaka engkau, kembalilah! Beristighfar dan bertaubatlah engkau kepada Allah!” jawab beliau.

Dia mundur tidak jauh, lalu datang kembali dan berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!”.

“Celaka engkau, kembalilah! Beristighfar dan bertaubatlah engkau kepada Allah!” tukas beliau lagi.

Dia mundur tidak jauh, kemudian datang kembali seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!”.

Namun Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tetap memberikan jawaban yang sama. Akhirnya di kali keempatnya beliau bertanya, “Kusucikan engkau dari apa?”.

“Sucikanlah aku dari perbuatan zina!”.

Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bertanya apakah dia tidak waras? Dijawab, “Dia waras”.

“Apakah dia baru saja minum khamr?”.

Seorang sahabat berdiri dan membaui mulutnya, ternyata tidak tercium bau khamr.

Akhirnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun memastikan, “Apakah engkau benar-benar telah berzina?”.

“Ya” jawabnya dengan pasti.

Lalu ia diperintahkan untuk dirajam sampai mati.

Setelah Mâ’iz meninggal, para sahabat terbagi menjadi dua. Sebagian mencela Mâ’iz dan sebagian yang lain memujinya, hal itu berlangsung dua hingga tiga hari.

Di hari ketiga Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun bersabda,

“Ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang jika dibagikan kepada suatu umat, niscaya taubat tersebut cukup untuk mereka semua”. (HR. Muslim dari Buraidah radhiyallahu’anhu.)

Subhanallah, kebeningan hati luar biasa, yang manakala tergores noda maksiat dia amat tersiksa dan merasa gundah gulana serta ingin untuk segera bening kembali!

Dua potret kejadian di zaman nubuwwah di atas, menggambarkan dengan jelas kepada kita betapa tinggi tingkat kepatuhan para sahabat dengan aturan agama. Dan betapa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah menggoreskan prestasi keberhasilan yang tidak ada bandingnya, dalam menanamkan benih-benih ketaatan dalam jiwa para sahabat.

Tanpa diawasi beliaupun, mereka tetap menjalankan syariat dengan ketundukan sempurna! Manakala bersalah, mereka segera mengakui kesalahannya, tanpa harus diseret ke penjara, dikorek-korek di pengadilan serta berkelit ke kiri dan ke kanan.

Bandingkan dengan kondisi banyak manusia di zaman ini, yang giat bekerja manakala diawasi oleh atasan, namun begitu pengawasan lengah, mereka bergegas memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mental-mental ‘ABS (Asal Babe Senang)’!

Kembali kepada pembahasan tentang keberhasilan Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam mendidik para sahabatnya. Tidakkah terbetik dalam diri kita sebuah pertanyaan mendasar, “Bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam hanya dalam rentang waktu belasan tahun berhasil mencetak generasi unggul dalam beragama? Apa gerangan resep suksesnya? Apa pula hal pertama yang beliau tanamkan dalam jiwa para sahabat sebagai pondasi kokoh yang menjadi landasan bangunan kuat di atasnya?”.

Jawaban dari seluruh pertanyaan di atas terangkum dalam penuturan Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut, tatkala beliau menjelaskan metode penurunan al-Qur’ân secara bertahap,

“Sesungguhnya (surat al-Qur’ân) yang pertama kali diturunkan adalah surat yang menceritakan tentang Surga dan Neraka. Tatkala saat itu orang-orang (para sahabat) telah berbondong-bondong masuk Islam, baru turun (ayat-ayat yang menjelaskan hukum) halal dan haram. Seandainya (ayat) yang pertama kali turun adalah “Jangan kalian minum khamr (minuman keras)”, niscaya orang-orang akan berkata, “Selamanya kami tidak mau meninggalkan khamr”. Begitu pula jika (ayat) yang pertama kali turun, “Jangan kalian berzina”, niscaya mereka akan berkata, “Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya”…”.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh menjelaskan maksud dari perkataan di atas, “Aisyah menerangkan hikmah Allah ta’ala di balik pengaturan susunan turunnya (ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’ân).

(Surat atau ayat) al-Qur’ân yang pertama kali turun adalah dakwah kepada Tauhid dan pemberian kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan taat; bahwa mereka akan dimasukkan ke Surga. Juga ancaman bagi orang kafir; bahwa mereka akan dimasukkan ke Neraka. Tatkala umat telah merasa mantap dengan hal itu, baru kemudian (ayat-ayat yang menjelaskan tentang) hukum-hukum (halal dan haram) diturunkan. Oleh karena itu Aisyah berkata, “Seandainya (ayat) yang pertama kali turun adalah “Jangan kalian minum khamr dst”. Sebab rata-rata orang akan merasa berat untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang telah lama digemarinya”.

Jadi, sumber kesuksesan pendidikan Rasul shallallahu’alaihiwasallam adalah karena beliau memulai dakwahnya dengan poin yang diperintahkan Allah ta’ala sebagai titik tolak dalam berdakwah, yakni: Tauhid atau Akidah.

Manakalah akidah itu lurus dan benar serta menghunjam kuat dalam dada kaum muslimin, maka saat itu insyaAllah keberhasilan, kejayaan, kemenangan akan senantiasa datang menyapa mereka.

Namun kebalikannya, manakala akidah tersebut rapuh, maka akan rapuh pulalah seluruh lini kehidupan mereka.

Carut marutnya kondisi tanah air kita tercinta saat inipun, sejatinya bersumber dari kerapuhan akidah banyak dari penduduk negeri ini.

Tahukah Anda, bahwa korupsi yang merajalela saat ini bersumber dari lemahnya akidah para pelakunya?

Andaikan mereka berbekal akidah kuat, yang membuahkan rasa takut kepada Allah dan sadar akan pengawasan Allah ta’ala yang tidak pernah lengah apalagi tidur, niscaya mereka akan berhenti untuk berkorupsi ria, walaupun tidak diawasi oleh KPK!

Tahukah Anda, bahwa dekandensi moral dan merebaknya pergaulan bebas di antara muda-mudi bangsa ini juga bersumber dari sakitnya akidah mereka?

Andaikan mereka memiliki akidah kuat, yang membuahkan kesadaran akan adanya kehidupan lain setelah kehidupan fana ini, akan adanya hari kiamat dan akan adanya hari pembalasan amalan, niscaya mereka akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak tanduk.

Akidah memang tidak terlihat, namun sangat urgen. Seperti pondasi suatu bangunan yang tidak terlihat, namun begitu vital bagi kekokohan dan kekuatan bangunan, tanpanya dia akan ambruk. Akidah bertempat dalam hati, jika lurus maka akan luruslah lahiriah manusia, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik maka seluruh jasad akan baik. Namun jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa segumpal daging tersebut adalah: hati”. (HR. Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu.)

Bukanlah mudah mendirikan bangunan kuat akidah insan, sebab membutuhkan waktu lama dan usaha yang tiada henti. Lihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selama tiga belas setengah tahun tanpa kenal lelah berjuang menancapkan akidah dalam jiwa umatnya!

Tidak kalah, Nabi Nuh ‘alaihissalam, siang dan malam, selama 950 tahun berjibaku menegakkan kalimat suci akidah di muka bumi.

“Sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, dan dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun”. (QS. Al-Ankabut: 14)

Wahai kaum muslimin, inilah jalan para nabi, tidak sepantasnyakah kita meniti jalan mereka??

Seluruh keterangan di atas bukan berarti kita mengesampingkan sisi syariat Islam lainnya; semisal ibadah dan akhlak. Bagaimana mungkin akan dilalaikan, sedangkan itu juga merupakan bagian dari Islam? Bahkan Islam tidak akan tegak sempurna kecuali dengan itu semua!

Namun yang kita inginkan adalah, bagaimana kita meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam berdakwah dan bersikap. Memulai dengan sesuatu yang beliau mulai dan memprioritaskan sesuatu yang menjadi prioritas beliau. Bukankah kita semua sepakat bahwa beliau adalah qudwah dan panutan kita semua?

Sumber: http://tunasilmu.com/sebuah-renungan-tentang-urgensi-akidah.html

No comments:

Post a Comment