Work Smart & Work Hard

Waktu saya mulai bekerja 25 tahun lalu, pimpinan perusahaan tempat saya bekerja mengajarkan konsep work smart—kerja secara cerdas. Dia tidak suka kerja lembur dan tidak suka pula bila ada karyawannya yang kerja sampai larut. Menurut dia hanya ada dua kemungkinan ketika orang harus secara rutin bekerja sampai larut, yaitu dia tidak capable untuk menyelesaikan tugas-tugasnya atau beban kerjanya yang terlalu tinggi. Keduanya menunjukkan ada sesuatu yang bermasalah, yang pertama masalah di dirinya sendiri dan yang kedua adalah masalah kemampuan manajemen dari atasannya.

Dari perusahaan pertama tersebut saya pindah ke perusahaan asing dimana banyak sekali expatriate dari berbagai negara. Ternyata tidak seperti yang kita umumnya duga, tidak semua expatriate tersebut pinter. Budaya yang dikembangkan di perusahaan tesebut adalah work hard, mereka terbiasa bekerja sampai larut—dan bahkan pucuk pimpinannya yang workaholic bekerja di hari libur.

Waktu bekerja sebagai karyawan tentu mayoritas kita akan lebih suka di perusahaan yang model pertama. Tetapi ternyata ketika terjun berusaha sendiri, keduanya memang diperlukan. Apalagi di era teknologi informasi yang semuanya bergerak cepat, nampaknya kita memang perlu work smart dan work hard untuk minimal bisa survive.

Mengapa work smart saja tidak cukup ? Skenarionya kurang lebih begini, saya misalnya bisa mengatur seluruh pekerjaan saya sehingga terdelegasikan dengan rapi ke team-team pelaksana dan penanggng jawabnya masing-masing di lapangan. Satu-satunya pekerjaan saya yang belum bisa didelegasikan adalah menulis artikel seperti ini. Untuk setiap tulisan seperti ini diperlukan riset satu-dua jam dan menulisnya dalam satu jam, jadi dengan tiga jam pekerjaan saya semua roda usaha saya insya Allah berputar. Tetapi apakah ini cukup ? saya gunakan apa sisa waktu saya setiap hari ?

Realitanya saya bekerja dua kali lebih panjang dari kebanyakan pegawai dan bahkan bekerja di hari libur dlsb. Seperti yang tertulis dalam puisi “Karena Aku Seorang Pengusaha”. Apakah ini karena kita merasa tidak cukup sehingga pingin terus bekerja keras mencari harta ? tidak demikian. Lebih seringnya adalah karena kita melihat peluang-peluang untuk dieksplorasi, melihat masalah-masalah untuk diatasi dan melihat ide-ide untuk ditindak lanjuti.

Mengapa work hard saja juga tidak cukup ? Saya ambilkan contohnya adalah apa yang dilakukan oleh para petani di sentra produksi pangan nasional Indonesia yang lagi jadi objek pengamaatan dan peluang pengembangan kita akhir-akhir ini. Para petani tersebut banyak yang bekerja dari habis subuh sampai menjelang magrib, bahkan tidak jarang dari mereka yang malam-malam—pun ke sawah. Tetapi apa yang mereka hasilkan ? hasil panenan mereka turun tinggal separuhnya dibandingkan dengan puncak kejayaan mereka tahun 80-an.

Jadi meskipun awalnya berbeda, akhirnya menjadi sama. Saya yang ingin menerapkan konsep work smart yang diajarkan bos pertama saya dahulu, ternyata harus work hard juga. Sebaliknya para petani yang sudah terbiasa work hard, kini nampaknya mereka harus mulai dijari untuk bisa work smart juga.

Akhir pekan ini bersama dengan sekitar 20-an pentolan para petani, kami akan mulai exercise menambahkan unsur work smart pada kebiasaan work hard mereka. Kita akan mulai ajak mereka berfikir, mengapa hasil panenan tahun-tahun ini tinggal separuh ketimbang tiga dasawarsa lalu. Apa penyebabnya, apa solusinya, apa yang bisa dilakukan dlsb.

Banyak wisdom di dunia pertanian yang orang-orang dahulu melakukan—yang kini tidak dilakukan lagi, bisa jadi ini salah satu penyebabnya. Pupuk-pupuk, insektisida dan pestisida yang dicurahkan ke lahan-lahan pertanian kita dalam tiga dasawarsa terakhir—bisa jadi ini pula penyebabnya. Pendek kata para petani yang kini banyak sudah turun ke generasi kedua yang terdidik, kita rangsang untuk berfikir dan mencoba.

Dahulu waktu belajar pertanian kita mengenal tiga bersaudara misalnya, yaitu jagung, waluh dan kacang panjang. Jagung ditanam dahulu sampai ketika dia mencapai ketinggian sejengkal, diikuti kacang panjang dan waluh di sekitarnya.

Jagung yang tumbuh lebih dahulu menjadi rambatan bagi kacang panjang yang tumbuh berikutnya, kacang panjang menghasilkan nitrogen yang dibutuhkan oleh jagung dan waluh. Waluh menutupi tanah dan menjadi mulsa alami, mencegah penguapan air tanah, mencegah tumbuhnya gulma dan menjaga suhu tanah.

Jagung bila berdiri sendiri kurang cocok untuk makanan pokok (seperti dahulu kita biasa makan sego/nasi jagung) karena dia kurang dalam hal amino acids lysine dan trypthophan yang dibutuhkan tubuh manusia untuk menghasilkan protein dan niacin. Tetapi kekurangan ini dapat dipenuhi dengan mudah oleh biji-biji kacang panjang, sehingga bila keduanya digabung bisa menjadi makanan yang seimbang.

Integrasi sejumlah tanaman yang saling menunjang atau bahkan juga dengan ternak, unggas, ikan dlsb. Kini seharusnya lebih memungkinkan dilakukan karena sumber informasi yang nyaris tanpa batas. Bahkan kini simulasi-simulasi dengan computer bisa memberikan kombinasi yang paling optimal untuk daerah tertentu dengan iklim tertentu dan sumber alam tertentu.

Bukan hanya dalam hal pertanian kita perlu menginjeksi work smart kedalam work hard dan sebaliknya work hard ke dalam work smart. Di era informasi intensif seperti sekarang, ilmu mudah diperoleh oleh siapapun—tetapi skills untuk bisa menerapkannya yang akan membedakan yang survive dengan yang tidak—dan ini menuntut work hard di lapangan.

Sebaliknya juga demikian, di negeri yang penduduknya sudah mendekati ¼ milyar ini, work hard saja hanya akan menjadikan kita buruh di negeri sendiri. Work smart-lah yang akan membuat kita memahami masalah, mengatasinya dan menangkap peluang yang hadir bersamanya. Fa inna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al ‘usri yusra. Insya Allah.

sumber: geraidinar.com

1 comment: