Dzatul 'Iqal; Mengejar Cinta ke Medan Syuhada'

Seorang wanita hebat. Punya semangat yang langka. Memiliki cinta yang ajaib. Suaminya adalah seorang sahabat Rasulullah yang meninggal dunia pada saat dikirim dalam perang Mu'tah. Tepatnya tahun delapan Hijriyah. Tidak jelas dengan pasti siapa nama wanita ini. Namun sejarah lebih akrab memanggilnya dengan julukan Dzatul 'Iqal.

Di awal kekhilafahan, Abu Bakar ash-Shiddiq mengirim pasukan yang telah dipilih oleh Rasulullah Saw sebelum meninggal dunia. Panglimanya masih sangat muda belia. Usamah bin Zaid namanya.

"Aku ingin melihat suamiku." kata Dzatul 'Iqal kepada Usamah bin Zaid sesaat sebelum pasukan diberangkatkan.

Panglima muda itu bertanya, "Di bagian mana suamimu berada?"

Dengan sangat bangga wanita itu menjawab, "Ia bersama para syuhada'. Meninggal pada waktu perang Mu'tah."

Raut wajah Usamah terlihat bingung. Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Suamimu sudah berada dalam kasih sayang Allah dan surga-Nya. Bagaimana mungkin engkau memintaku sesuatu di luar kemampuanku?"

"Dengan segala kemurahan hatimu wahai panglima, terimalah aku dalam pasukanmu. Mudah-mudahan dengan begitu Allah mencatatku dalam daftar para syuhada', sehingga aku bisa berjumpa dengan suamiku di alam sana."

"Kembalilah kamu ke rumahmu. Semoga Allah memberkahi keberanian dan ketulusanmu. Kita sudah mempunyai tentara yang cukup." jawab Usamah dengan bijaksana.

Kemudian wanita itu memotong dua pintalan rambutnya yang panjang dan menyerahkannya kepada Usamah sambil berkata, "Ambillah dua pintalan rambutku ini. pakailah untuk tali kekang kudamu. Besok kamu akan melihat keberanianku di medan perang."

Dari sinilah sejarah menyebutnya dengan julukan Dzatul 'Iqal, sang pemilik ikatan rambut.

Keesokan harinya, datanglah seorang anak lelaki kecil menemui Usamah bin Zaid.

"Wahai panglima, bawalah aku untuk berjihad bersamamu di jalan Allah. Mudah-mudahan aku bisa bertemu ayahku bersama para syuhada'."

Senyuman manis terukir di bibir Usamah. Lalu ia menjawab, "Semoga Allah memberkahimu wahai anak kecil. Kembalilah kepada keluargamu. Kalau kamu sudah besar nanti ikutlah berperang bersama pasukan kami."

"Sungguh ibuku telah menghadiahkan diriku untuk Allah. Allah lah yang berhak menerima hadiah itu atau menolaknya."

Rona wajah Usamah dipenuhi dengan kekaguman. "Putera siapa kamu?"

"Aku adalah anak perempuan yang kemarin memberikan rambutnya kepadamu untuk kamu jadikan sebagai tali kekang kuda."

"Jadi kamu putera pemilik tali kekang itu?!" teriak Usamah.

"Ya, aku anaknya."

Usamah bin Zaid tak mampu memadamkan bara semangat anak kecil itu. Akhirnya ia mengizinkannya untuk ikut berperang bersama pasukannya.

Pasukan perang berangkat atas perintah dari Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Satu hari berlalu, hingga akhirnya pasukan sayap kanan dikejutkan dengan datangnya seorang tentara perang yang mengendarai kuda hitam sam bil membawa pedang membelah barisan mereka. Setelah mendekat, barulah mereka tahu ternyata ia adalah Dzatul 'Iqal.

Mendengar kedatangan Dzatul 'Iqal, Usamah bin Zaid pun menghampirinya. Ia memintanya agar nanti berada di belakang pasukan. Namun wanita yang sudah rindu kepada suaminya itu tidak mau. Ia hanya ingin berada di garda depan, agar bisa segera bertemu dengan sang suami. Tak ada jalan lagi bagi Usamah selain menuruti permintaan Dzatul 'Iqal.

Perang pun berkecamuk dengan sengit. Dzatul 'Iqal menunjukkan kehebatan dan keberaniannya kepada semua pasukan. Hal itupun memberikan semangat tersendiri kepada pasukan perang. Hingga merekapun bertakbir saat melihat kepahlawanan wanita itu.

Malam tiba. Perang ditunda dan baru dilanjutkan lagi hari berikutnya. Semua pasukan pun istirahat melepas lelah, agar esok hari tenaga mereka kembali pulih. Usamah bin Zaid keliling untuk mengontrol mereka. Hingga ketika melewati putera Dzatul 'Iqal, Usamah pun membangunkannya.

"Andaikata engkau membiarkanku tidur, karena sungguh aku telah bermimpi bertemu dengan ayahku menikmati hidangan surga bersama para syuhada'." kata anak itu saat melihat Usamah bin Zaid di depan matanya.

"Demi Allah, nak, sungguh engkau akan bersama dengan orang-orang baik dan ikhlas." puji Usamah bin Zaid. Iapun akhirnya meminta anak itu untuk berlatih cara berperang. Dan esok ia akan berada satu barisan dengan ibunya di sayap kanan pasukan.

Perang pun kembali berkecamuk keesokan harinya. Anak kecil itu menghunuskan pedangnya menebas setiap musuh yang datang menghampirinya. Hingga akhirnya sebilah pedang menghujam ke tubuhnya. Iapun pergi sebagai syuhada', menemui sang ayah.

Saat itu, Dzatul 'Iqal masih beradu pedang dengan musuh. Hingga ia melihat jasad anaknya terbaring tanpa nyawa. Dengan cepat dan waspada, Dzatul 'Iqal segera membawa jasad itu ke kemah sebelum musuh mencabik-cabik tubuh anaknya yang masih sangat kecil.

Sungguh cinta bisa melakukan banyak hal. Karena ingin mendapat keridhoan Allah untuk bertemu dengan sang suami, seorang Dzatul 'Iqal rela mengikuti perang bersama anaknya yang masih kecil. Sudah pasti, dalam medan perang tak ada pilihan selain dua hal. Hidup dalam keadaan terluka atau mati.

Namun apalah makna kematian dibanding gelora cinta yang sudah membara. Menjadi kecil tak terasa. Jika kematian saja menjadi sepele di mata seorang pecinta, maka luka-luka sayatan di kulit lebih tak berarti.

Sumber: cahayasiroh.com

No comments:

Post a Comment