Mengislamisasikan keegoisan

Perjalanan Lebak Bulus-Grogol dengan Trans Jakarta, sendiri. Baru saja melewati beberapa Halte, seorang ibu-ibu pas berdiri di depan saya, reflek saya pun berdiri dan mempersilakan beliau duduk di tempat saya. Satu Halte lagi terlewati, sayapun reflek kembali, tapi kali ini reflek mata saya pada seorang pemuda yang tadinya duduk bersebelahan di samping kiri saya. Ia berdiri dan memberikan tempat duduknya pada seorang wanita paruh baya.


"Pemuda yang baik" batin saya dengan sejuta senyuman.

"Dan barangkali, langka" timpal hati saya ikut berkomentar.

Ya, baik dan langka. Hanya dengan memberikan jatah kursi duduknya di Bus kepada orang lain di kota padat seperti Jakarta ini sangat mampu menjadi tolak ukur menilai seseorang. Meski tak selalu itu menjadi jaminan, tapi banyak hal mengenai kondisi pribadi seseorang tarangkum dalam deskripsi sederhana bernama akhlaq.


Ada pergeseran tingkah sosial yang begitu terasa, dan menjadi pemandangan biasa di seantero Jakarta ini (dan sangat mungkin tidak hanya di Jakarta), bahwa seorang pemuda gagah duduk santai dalam sebuah Bus kota, sementara tak jauh darinya dalam Bus yang sama, seorang ibu-ibu duduk menahan pegal di kaki. "Ajaibnya" sang pemuda tersebut mengetahuinya dan cuek.


Dan sang pemuda di Trans Jakarta yang merelakan tempat duduknya untuk orang lain itu, tentu saja langsung menarik perhatian saya. Karena pernah suatu ketika, saya harus menahan sesak di dada, ketika beberapa orang ibu-ibu di suatu kesempatan lain dalam peristiwa yang sama, harus berdiri berdesakan di dalam Bus. Memang tempat duduknya penuh, namun diantara mereka yang memenuhi tempat duduk adalah para pemuda gagah yang kalau hanya berdiri beberapa jam saja tak kan mampu membuatnya sampai jatuh pingsan!

Tentu saja satu kursi saya hanya untuk seorang ibu pengganti, dan mereka mengetahui kalau saya 'mengalah' dan lebih memilih berdiri. Berharap jika mereka miskin inspirasi kebaikan, maka mereka akan terinspirasi dengan apa yang saya lakukan untuk para ibu lainnya yang masih berdiri. Atau minimal malu karena saya yang notebene wanita dengan senang hati memberikan kursi yang sudah menjadi hak saya untuk wanita yang lebih tua dan selayaknya dihormati. Namun harapan saya kandas. Tak ada satupun dari mereka yang tergerak dan bergerak untuk berdiri dan dengan ramah mempersilakan salah satu dari ibu-ibu yang berdiri itu duduk.

Dalam waktu-waktu berikutnya di kemudian hari, saya sepertinya harus membiasakan diri dengan perasaan sesak di dada ini pada peristiwa dan pemandangan yang sama, yang terjadi berulang ketika saya memakai jasa transportasi Bus di ibu kota berpenduduk mayoritas muslim ini.


Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka tidak peka, tidak sungkan dan tidak malu? Mengapa mereka mengabaikan terusiknya hati dan pikiran mereka pada hal ini?

Kemudian, penelusuranpun dimulai. dengan mendapatkan satu kata kesimpulan yang sebelumnya dideretkan dengan sejumlah argument pembenaran; egois !

Barangkali dan mungkin saja, akan ada sebuah pemakluman ketika  saya masukkan mereka dalam sebuah kondisi capek, dalam perjalanan pulang kerja, pikiran penat dan banyak hal yang dirasa tidak menyenangkan hadir  dalam hidupnya, pun pulang kerja dengan lakon perjalanan yang harus selalu berdesakan dan ‘rebutan’ mendapatkan kursi duduk hampir tipa hari.  Bukankah prinsipnya sama-sama capek?  Atau berangkat kerja dan berpikir untuk “menghemat  tenaga” selama perjalanan karena sudah terbayang bagaimana nanti sibuknya dan capeknya di tempat kerja. Wajar kemudian jika mereka berpikir logis; saya juga capek, saya juga membutuhkan tempat duduk ini.

Namun, benarkah itu kemudian menjadi argument  shahih juga pada tataran kesusilaan, kepekaan dan kelayakan berlaku dalam hubungan sosial? Atau jika diganti dengan pertanyaan lain; bagaiman dengan tanggung jawab sosial mereka sebagai seorang pemuda?!

Ah, jika hidup hanya dimasukan dalam wilayah logika, maka akan banyak aspek tersingkirkan dari diri dan cara pandang kita terhadap kehidupan ini.

Baiklah, mari kita berbicara tentang keegoisan. Sifat dasar manusia yang menjadi kecenderungan kita. Karena jika saya sodorkan konsep itsar (lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri) dengan melihat kondisi nyata, akan nampak hanya seperti cerita dari negeri dongeng saja. Maka, bisakah membentuk egois menjadi kata dengan definisi yang indah dan kompleks? Dengan argumentasi kebenaran, bukan pembenaran? Tentu saja bisa!  Dan saya menyebutnya ;  mengislamisasikan keegoisan.

Mari, sejenak saya ajak ke dimensi lain bernama timbal balik. Bahwa sunnatullah, dalam bahasa yang lebih universal sering disebut dengan hukum alam, selalu berlaku dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.  Bahwa kebaikan pasti akan berbalas kebaikan pula, meski tidak harus datang dari tangan yang sama dan di waktu yang sama pula. Sekalipun kita tak pernah mengharap adanya timbal balik kebaikan, namun begitulah hukum alam yang berlaku, dengan prinsip jelasnya adalah, kebaikan selalu mendatangkan kebaikan lain. Yang kondisi ini kemudian sering disebut dengan keberkahan.

Mungkin tanpa kita sadari, ia menyentuh sisi – sisi kehidupan kita yang lain, mempermudah begitu banyak urusan hidup kita. Dan keberkahan,  bisa saja datang dari kerelaan kita memberikan jatah kursi Bus kita pada orang –orang yang selayaknya kita perlakukan demikian, meski kita juga sangat membutuhkannya.

Selagi muda dan perkasa, jika ada Ibu-ibu, Kakek-nenek, Wanita hamil dan siapapun yang “lebih layak” duduk di Bus ketimbang kita, secapek-capeknya kita, jika hanya ditambah berdiri beberapa jam tak kan sampai membuat kita jatuh pingsan, mari mengalah dan berdirilah! Karena sangat mungkin, ini menjadi “wasilah” dimudahkannya urusan hidup kita yang lain. Baik urusan kerja, urusan keluarga dan urusan-urusan pelik yang membuntukan jalan keluar.

Ujungnya, memang berakhir ke kepentingan diri sendiri juga dan tetap saja menjadi bentuk lain dari keegoisan.  Namun cakupan maknanya, menjadi lebih luas dan positif. Karena disinilah kemudian masih kita dapati titik-titik keseimbangan antara habluminannas dan habluminallah.


Wallahu’alam bishwab.


***

/rf_Jakarta, 26 Juni 2011_04.06 wib

No comments:

Post a Comment