Transformasi Aqidah dalam Kehidupan

Persoalan yang terjadi pada Umat Islam dewasa ini sesungguhnya bukan pada masalah keyakinan, melainkan tertahannya ajaran Islam yang mulia pada tataran keyakinan, tidak ditransformasikan dalam kehidupan. Pada titik ini, telah terjadi jarak yang amat jauh antara Umat Islam dengan agamanya. Sementara Islam berdiri di satu sisi. Umat Islam berdiri di sisi lain. Hal ini sungguh telah menimbulkan masalah serius yang menimpa Umat Islam tanpa henti sampai hari ini.

***

Transformasi Aqidah dalam Kehidupan

"Katakanlah: 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri'." (QS. Ali Imran [3] : 84)

Menakjubkan! Ini yang dapat saya katakan ketika menyaksikan berbagai parade demonstrasi penolakan terhadap berbagai usulan pelaksanaan norma-norma keislaman yang akhir-akhir ini marak disiarkan melalui media masa, baik cetak maupun elektronik.

"Saya seorang Muslim tetapi saya tidak fanatik".

"Saya seorang Muslim, tetapi saya menolak Syari’ah Islam dilaksanakan karena akan terjadi anarkis, disintegrasi bangsa dan seterusnya".

Saya katakan menakjubkan karena penolakan ini dilakukan oleh orang-orang yang notabene menyatakan diri sebagai Muslim yang bersyahadah "Laa ilaaha ilallah, Muhammad Rasulullah". Bahkan dilakukan oleh para Kiai dan Intelektualnya. Saya katakan menakjubkan, karena bagaimana mungkin orang-orang yang menyatakan diri sebagai pemeluk Islam tetapi menolak dengan sekeras-kerasnya pelaksanaan norma-norma agamanya.

Bagaimana mungkin orang-orang yang menyatakan diri sebagai seorang Muslim menghujat dengan sekeras-kerasnya nilai-nilai agamanya. Ini adalah hal yang menakjubkan! Saya katakan menakjubkan karena ini fenomena baru, keberanian baru dari generasi Muslim dalam menentang azab Allah yang teramat pedih, yang tidak pernah dilakukan oleh generasi Muslim sepanjang sejarahnya. Dari mana keberanian itu muncul? Kenapa mereka tidak mau berendah di bawah 'kursi Allah', mencontoh generasi terdahulu yang telah dengan ta’dzim memenuhi panggilan dengan mengatakan, "Sami’na wa atho’na (Kami mendengar dan kami patuh)". (QS. An-Nuur [24] : 51)

Sepanjang informasi Al-Qur’an, sikap penolakan ini adalah warisan dua guru utama dalam pembangkangan, yaitu Iblis laknatullah dan Yahudi yang dimurkai Allah SWT.

Tentang sejarah pembangkangan Iblis, Al-Qur’an menerangkan:

"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para Malaikat, 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?' Dia (iblis) berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil'." (QS. Al-Israa’ [17] : 61-62)

Sedangkan sejarah pembangkangan Yahudi, Al-Qur’an menerangkan:

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman). 'Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!' mereka menjawab, 'Kami mendengar tetapi tidak mentaati'. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, 'Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat). Perbuatan jahat yang mereka kerjakan ialah menyembah anak sapi, membunuh Nabi-nabi dan melanggar janji'." (QS. Al-Baqarah [2] : 93)

Itulah sejarah pembangkangan. Yang kemudian menjadi pernyataan kita adalah kenapa sikap pembangkangan kepada Allah dan Rasul-Nya itu merasuk ke dalam diri orang-orang Muslim? Apakah generasi ini telah berguru kepada mereka tentang pembangkangan?

Kemudian kita boleh berfikir, bagaimana sekiranya keislaman model demikian itu kita hadapkan kepada Rasulullah SAW, Abu Bakar atau Umar bin Khattab?

Dikisahkan:

Dua orang lelaki yang sedang bermasalah datang menemui Nabi SAW, lalu beliau memutuskan tidak bersalah untuk pihak yang benar di atas pihak yang salah. Pihak yang diputuskan bersalah tidak mau menerima dan berkata kepadanya, "Saya tidak terima!" Kemudian yang satunya berkata, "Lalu apa maumu?" Ia menjawab, "Kita pergi kepada Abu Bakar Ash-Shidiq!" Mereka pun pergi. Orang yang diberi keputusan tidak bersalah berkata kepada Abu Bakar. "Kami mencari keadilan kepada Nabi SAW lalu aku diberi keputusan tidak bersalah." Abu Bakar lalu berkata kepadanya, "Kamu berdua harus menerima apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW." Akan tetapi yang satunya tidak mau menerima. Keduanya kemudian menemui Umar bin Khattab, lalu orang yang diberi putusan tidak bersalah berkata, "Kami telah mencari keadilan kepada Nabi SAW lalu aku diberi keputusan tidak bersalah tetapi yang satunya tidak mau menerima." Mendengar permasalahan ini lalu Umar bertanya kepadanya dan dijawab benar adanya. Umar kemudian masuk dan kembali lagi dengan membawa pedang terhunus di tangannya. Lalu orang yang tidak mau menerima putusan Rasulullah SAW tersebut ditebas lehernya. Maka turunlah ayat, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. An-Nisa [4] : 65)

Kemudian dalam Sirah Nabawiyah diterangkan:

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya hijrah ke Madinah beliau menyeru kepada seuruh kaum Muslimin untuk berhijrah ke Madinah, tetapi di Mekah ada sebagian kaum Muslimin, yang karena berbagai alasan, tidak memenuhi seruan Rasulullah SAW tersebut, antara lain: Harits bin Zama’ah, Abu Qais bi fakih, Abu Qais bin Walid, Ali bin Ummayah dan ‘Ash bin Munibah. Ketika pecah perang Badar mereka dimanfa’atkan oleh pihak kafir Mekah untuk memerangi pasukan Islam. Oleh pasukan Islam mereka semua dihadapi sebagai musuh, semuanya mati terbunuh, mereka mati dalam kesesatan dan menjadi penghuni Neraka Jahanam.

Dalam kasus ini Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' mereka menjawab, 'adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)'. para Malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa [4] : 97)

Dalam sunnah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar telah memutuskan untuk memerangi orang-orang yang membangkang tidak mau membayar Zakat, setelah wafat Rasulullah SAW. Abu Hurairah ra berkata, "Tatkala Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar ra terangkat sebagai khalifah, beberapa kelompok masyarakat Arab kembali menjadi kafir.

Umar ra bertanya kepada Abu Bakar, 'Bagaimana kamu akan memerangi manusia sedang Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintahkan supaya memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Dua Kalimah Syahadah. Barangsiapa yang mengucapkannya berarti dia dan hartanya terpelihara kecuali apa yang dibenarkan oleh Syari’ah dan perhitungannya terserah kepada Allah SWT".'

Abu Bakar menjawab, 'Demi Allah aku akan memerangi mereka yang membedakan antara kewajiban Shalat dengan kewajiban Zakat, karena Zakat merupakan kewajiban terhadap harta. Demi Allah, andaikan mereka menahan seutas tali yang bias diberikan kepada Rasulullah SAW saya akan memerangi mereka karena menahan tali itu'.

Berkata Umar, 'Demi Allah, tidak lain keterangan Abu Bakar melainkan saya mengerti bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, maka saya baru mengerti bahwa itulah perkara yang benar'." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga kasus tersebut di atas adalah menyangkut orang-orang yang menyandang predikat Muslim, tetapi kenapa dalam kasus pertama, sahabat Umar bin Khatab memenggal lehernya? Bukankah ia tahu bahwa sahabat tersebut adalah seorang Muslim, hanya saja ia tidak menerima keputusan Rasulullah SAW? Kenapa ia harus dipenggal lehernya, bukankah darah seorang Muslim tidak halal kecuali atas tiga hal, yaitu karena (1) membunuh, karena (2) zina muhshon dan karena (3) murtad dari agamanya?

Dalam kasus kedua, mengapa orang-orang Muslim yang bergabung dengan pasukan musuh itu (bahkan dalam keadaan dipaksa) diperangi dan diperlakukan sebagai musuh oleh pasukan Islam, bahkan akhirnya mereka semuanya terbunuh oleh pasukan Islam? Bukankah mereka seorang Muslim, hanya mereka tidak mau memenuhi perintah Rasulullah SAW untuk berhijrah ke Madinah dan bergabung dengan saudara-saudara sesama Muslim di Madinah? Apakah mereka itu telah murtad atau telah keluar dari keislamannya?

Kemudian dalam kasus ketiga, mengapa Khalifah Abu Bakar menghalalkan darahnya dengan memerangi mereka. Bukankah mereka adalah orang-orang yang bersyahadat dan mengerjakan Shalat, hanya saja mereka enggan membayar Zakat? Padahal seperti penjelasan Umar bin Khatab dihadapan Abu Bakar, dengan landasan sabda Rasulallah SAW bahwa orang bersyahadat "Laa ilaha illallah, Muhammad Rasulullah" terpelihara jiwa, harta dan kehormatannya?

Ketiga kasus di atas adalah pelajaran bagi umat Islam bahwa pernyataan keislaman seseorang tidak secara otomatis menempatkan dirinya pada maqom seorang Muslim. Predikat kemusliman yang disandang seseorang yang ternyata menuntut persyaratan-persyaratan yang mesti dipenuhi. Apabila persyaratan itu dipenuhi maka Muslim-lah ia, tetapi manakala ia keluar dari persyaratan itu, maka demi hukum gugurlah keislamannya.

Allah SWT berfirman, "Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian' pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman". (QS. Al-Baqarah [2] : 8)

Allah SWT berfirman, Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, 'Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)'." (QS. Al-Anbiya’ [21] : 108)

Yang perlu mendapat perhatian kita adalah keislaman macam apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga kita layak menyandang predikat Muslim? Bukankah KTP kita Islam? Kita juga sudah melaksanakan Shalat dan bahkan Haji? Kemudian apalagi? Kenapa Allah masih mempertanyakan keislaman kita?

Penegasan ini sesunggunya hal yang sangat wajar di tengah derasnya arus pergaulan yang sangat serius antara Materialisme dan Iman, di mana Materialisme sedang di atas angin mendominasi seluruh sisi kehidupan, di mana kebanyakan ‘mata hati’ manusia tersilap oleh gemerlap semua Materialisme yang memang sangat menggoda. Penegasan ini sesunggunya sangat perlu di mana banyaknya pernyataan dusta dan palsu tentang keimanan dan keislaman yang dilakukan oleh sebagian besar manusia.

Yang perlu kia lakukan hanyalah membuktikan diri bahwa kita ini seorang Muslim. Muslim yang dikehendaki oleh Allah, bukan Muslim yang kita kira sendiri atau kita kehendaki sendiri. Karena kita adalah hamba Allah bukan hamba diri sendiri. Karena ita mengharapkan ridha Allah bukan ridha diri sendiri. Tetapi bagaimana ber-Islam dengan cara Allah?

Perhatikan ayat berikut ini:

"Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan". (QS. Ali Imran [3] : 83)

Makna hakiki dari Islam adalah tunduk dan patuh. Yang dimaksud tunduk dan patuh di sini adalah tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah.

Sampel keislaman yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai mana dinyatakan di atas adalah Islamnya alam semesta. Jadi kita harus ber-Islam sebagaimana Islamnya alam semesta. Tetapi bagaimana alam semesta ber-Islam?

Mari kita perhatikan ayat berikut:

"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, binatang-binatang, yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapayang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakanya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki". (QS. Al-Hajj [22] : 18)

Islamnya alam semesta ternyata bersujud mengabdi kepada Allah. Artinya, mereka tunduk patuh berjalan pada garis ketentuan Allah SWT. Mereka semuanya melakukan ibadah, melakukan sholat dan tasbih sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, tetapi hanya Allah-lah yang lebih mengetahui tata cara tasbih dan sholatnya.

"Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sholat dan tasbihnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan". (QS. An-Nuur [24] : 41)

Seluruh makhluk di alam ini, dari matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang-binatang, burung-burung dan lain-lain, semuanya tunduk, sujud, ber-Islam kepada Allah SWT. Dalam ber-Islam, seluruh makhluk yang ada di semesta ini memiliki orbit (jalan) yang mesti dilaluinya. Dalam bersujud (ber-Islam) kepada Allah, matahari, beredar pada orbitnya dan tidak pernah keluar dari orbit itu walau sedikit. Demikian juga bulan, bumi dan bintang-bintang yang ada di semesta ini, semuanya beredar pada orbitnya tanpa pernah keluar dari garisnya walaupun sedikit. Matahari, bulan dan bintang-bintang tidak pernah ingkar dari garis ini. Matahari tidak pernah keluar dari orbitnya lalu beredar pada orbit bintang lain. Demikian juga bumi tidak pernah keluar dari orbitnya lalu berjalan di orbit bintang lain. Inilah jalan keislaman yang dikehendaki oleh Allah, ketundukan pada orbit yang telah ditetapkan baginya.

"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya". (QS. Yasin [36] : 40)

Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, juga diwajibkan oleh Allah berislam (sujud) bersama sujudnya makhluk-makhluk lainnya. Bila alam semesta dalam bersujud memiliki orbit untuk membuktikan keislamannya dan untuk menyampakikannya kepada Allah, bagaimana dengan manusia, apakah ia harus memiliki dan melalui garis orbit juga? Pasti! Kalau dalam ber-Islam kepada Allah mekhluk lain memiliki garis edar (jalan) yang mesti dilaluinya. Rotasi kehidupan manusia adalah berangkat untuk kembali menuju Allah SWT.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (dari Allah dan akan kembali kepada Allah)".

Kalau tujuan perjalanan hidup manusia adalah menuju Allah, maka adakah sebarang jalan (orbit) yang akan bisa menyampaikannya kepada Allah? Tentu tidak! Tentu hanya jalan yang terkait dengan Allah, yang menuju Allah, yang akan menyampaikannya kepada Allah. Manusia tidak akan pernah sampai kepada Allah kalau ia tidak memiliki dan menempuh jalan yang menghantarkannya kepada Allah.

Untuk kepentingan ibadah, ber-Islam dan bersujud secara benar, Allah SWT telah memberikan satu jalan (orbit) yang mesti dilalui oleh manusia, yaitu sabilillah. Kalu manusia tidak melewati garis ini dalam ber-Islam, sesunggunya ia telah berada pada orbit yang salah. Berada pada orbit yang salah berarti keluar dari jalur keislaman. Dan keluar dari jalur keislaman berarti bukan seorang Muslim. Jadi, keislaman yang dikehendaki oleh Allah dengan pertanyaanya di muka adalah keislaman yang berada pada jalan (orbit) yang benar, yaitu sirotol mustaqim. Fahal antum Muslimun?

Perhatikan ayat berikut:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa". (QS. Al-An’am [6] : 153)

Ayat ini telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sangat gamblang dalam bentuk garis sebagaimana diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan Jabir ra:

"Kami duduk bersama Rasulullah SAW, lalu beliau membuat garis lurus di depannya, lalu berkata, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian beliau membuat dua garis di kanan dan dua gafis di kiri lalu berkata, 'Ini adalah jalan setan'. Kemudian beliau meletakan tangannya di garis tengah lalu membacakan ayat berikut, 'Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa'." (Musnad Ahmad No. 14739; Sunan Ibnu Majah)

Secara garis lurus, Allah telah menyediakan satu jalan (orbit) bagi menusia untuk ber-Islam menuju Allah. Jalan itu adalah Nabi dan Rasulnya. Karenanya, manusia tidak akan pernah sampai kepada kataatan kepada Allah SWT kecuali melalui jalan ini, karena tidak ada jalan lain yang diciptakan oleh Allah sebagai jalan ber-Islam menuju kepada-Nya.

Kerasulan sebagai orbit manusia satu-satunya menuju Allah, telah secara terus menerus dimunculkan oleh Allah dengan dikirimnya para Nabi dan rasul secara sambung menyambung, sepanjang masa. Dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW. Inilah jalan itu, inilah jalan Islam, inilah jalan yang mesti dilalui oleh manusia dalam bersujud kepada Allah SWT. Tidak ada jalan diluar jalan Nabi dan Rasul.

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka". (QS. An-Nisa [4] : 80)

Semua Nabi telah menegaskan hakekat jalan ini. Nabi Nuh as telah menegaskan jalan ini kepada kaumnya, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an: "Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku". (QS. Asy-Syu’ara [26] : 107-108)

"Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku". (QS. Asy-Syu’ara [26] : 125-126)

Tetapi kenabian dan kerasulan telah ditutup Allah dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, dengan firman-Nya: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Ahzab [33] : 40)

Yang menjadi masalah adalah, apakah dengan berakhirnya kenabian ini berarti terputus pula orbit bagi manusia untuk ber-Islam menuju Allah?

Tidak! Allah menyambung jalan itu denga khilafah, sehingga dengan adanya khiafah jalan menuju Allah tetap terbentang, dan manusia tetap dapat beribadah kepada Allah, manusia tetap bisa bersujud kepada Allah bersama sujudnya semesta alam pada orbit yang benar. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, "Adalah bani Israil kepemimpinan mereka selalu dipegang oleh Nabi-Nabi. Setiap meninggal seorang Nabi maka Nabi itu digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada lagi Nabi sesudahku, yang ada hanya para khalifah yang banyak jumlahnya." para sahabat bertanya, "Apakah yang engkau suruh kami kerjakan?" Nabi menjawab, "Sempurnakanlah bai’at yang telah engkau berikan kepada yang pertama. Kemudian yang datang sesudahnya. Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada mereka tentang apa yang Allah suruh kepada mereka". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Sesunggunya aku memerintahkan kepadamu dengan lima perkara sebagaimana Allah memerintakan kepadaku, yaitu: berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah. Karena sensunggunya siapa yang keluar dari jama’ah barang sejengkal, maka sungguh telah lepas ikatan Islam dari lehernya sampai dia kembali (bertaubat) dan barang siapa yang berseru dengan seruan jahiliyah, maka ia bertekuk lutut dalam neraka jahanam." Sahabat bertanya, "Sekalipun dia puasa dan shalat, ya Rasulullah?". Jawab Nabi SAW, "Sekalipun dia puasa dan shalat dan sekalipun dia mengaku Muslim. Maka serulah orang-orang Islam dengan nama mereka yaitu Aa-Muslimuun, Al Muslimuun, hamba-hamba Allah Azza wa jalla". (Sunan At-Turmudzi No. 2790; Musnad Ahmad No. 16542, 17132, 21835)

Jama’ah adalah esensi khilafah, orbit ber-Islam satu-satunya yang terbentang menuju Allah. Dalam sunnah Rasulullah di atas ditegaskan: "Sekalipun shalat, sekalipun puasa, bahkan sekalipun mengaku Muslim", tetapi tidak berorbitkan dengan orbit jama’ah adalah sia-sia. Tetapi kini kebanyakan manusia telah keluar dari orbit ini, mereka ber-Islam bukan dengan orbit Islam, mereka ber-Islam tetapi melalui orbit lain. Kalau demikian apakah mereka dapat dikatakan sebagai Muslim?

Mau tahu lebih detail dan mengkaji lebih dalam? Beli bukunya dan ikuti kajiannya. Assamu'alaykum wr wb :)

No comments:

Post a Comment